
Jika jawabannya
bangga, pertanyaannya kemudian (takon meneh) seberapa jauhkah Anda mengenal
sejarah asal mula dan karakteristik masyarakat Jawa?
Tentu saja pertanyaan di
atas tidak bermaksud memaksa Anda untuk berpikir keras, apalagi menyalahkan
ketidaktahuan Anda sebagai orang Jawa. Tidak sama sekali. Maksud dari tulisan
ini semata-mata hanya urun rembug untuk melengkapi tulisan-tulisan perihal suku
Jawa yang sudah ada.
Mencari tahu tentang
asal mula suku Jawa memang ibarat mencari jejak di air. Begitu banyak sumber
dan data sejarah yang mengemukakan tentang asal mula penduduk Jawa dengan
berbeda-beda. Namun di tulisan ini saya hanya mencuplik dari satu sumber saja
dulu, semoga di kemudian hari saya bisa menuliskan untuk kisanak secara khusus
dari berbagai versi tersebut.
Ada 2 versi yang saya
cuplik untuk menjadi pengantar tulisan ini adalah yang pertama dari buku Dunia
Mistik Orang Jawa : Roh, Ritual, Benda Magis karya Capt. R.P Suyono,
dalam bukunya Suyono menyebutkan bahwa asal-usul Tanah Jawa baru diketahui agak
jelas dari cerita tentang kedatangan seorang Brahmana dari tatar India yang
bernama Aji Sengkala.
Selanjutnya dalam
babad (kisah) yang lain, menurut salah satu sejarawan yang berasal dari negeri
Kincir Angin, Belanda, W.L. Olthof yang berjudul asli, Punika Serat
Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647, (Babad
Tanah Jawa Mulai dari Nabi Adam Sampai Pada Tahun 1647), menjelaskan
bahwa yang menjadi bapak moyang orang Jawa sekaligus rajanya ialah Batara
Wisnu, yang karena ada masalah dengan ayahnya, Batara Guru, lantas Tanah Jawa
dipegang oleh Batara Brahma.
Adapun silsilah raja
Jawa yang kalau ditarik dari awal (menurut W.L. Olthof) adalah Nabi Adam
berputera Esis, Esis berputera Nurcahya, Nurcahya berputera Nurasa, Nurasa
berputera Sanghyang Wening, Sanghyang Wening berputera Sanghyang Tunggal,
Sanghyang Tunggal berputera Batara Guru, Batara Guru beranak lima, Batara
Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri.
Jadi, seandainya kita
berpegang pada hipotesa W.L. Olthof ini. Maka, jelas bahwa bapak moyangnya
orang Jawa merupakan keturunannya Nabi Adam as yang ketujuh. Wallahu a’lam
bishshawab.
Nah, demikian dua
versi tentang asal mula suku Jawa yang mendiami pulau Jawa ini. Di kesempatan
lain saya akan membahasnya lebih lanjut.

Namun satu hal yang
pasti dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan suku Jawa adalah suku terbesar
yang ada di Indonesia. Menurut bulek wiki (wikipedia), setidaknya tak kurang
dari 44% dari total populasi bersuku Jawa. Umumnya, mereka tinggal di pulau
Jawa, tepatnya, Jateng, Jatim, sebagian kecil tinggal di Jabar, Jakarta, dan
juga Banten.
Khusus di Banten,
keberadaan suku Jawa sudah ada sejak abad 16. Mereka datang dari Demak dan
Kudus untuk menguasai dan menaklukan wilayah pesisir utara Banten. Jumlah
mereka sangat banyak. Setelah dikuasai, mereka membentuk kerajaan Banten. dan
akhirnya membentuk satu koloni di beberapa wilayah utara Banten.
Untuk etnis Sunda
tentu saya tidaklah asing karena istri saya adalah urang Sunda, ada satu
kesempatan pada sebuah acara keluarga saya pernah tanya sama kerabat istri
saya. saya tanyakan sama uwa istri saya apakah orang Sunda bisa dikatakan
sebagai orang Jawa? Jawabannya tegas, meski dengan tersenyum. Sungkan sama saya
barangkali. Jawabannya tegas, Tidak!
Pertanyaan serupa
pernah juga saya tanyakan pada seorang teman dari Sumenep, Madura dan periparan
saya yang asli Betawi. Jawabannya serupa, Tidak.
Nah, bertelekan pada
jawaban tidak di atas, saya secara pribadi ada satu simpulan. Meskipun suku
Sunda, Madura, dan Betawi mendiami pulau Jawa mereka merasa enggan disebut
orang Jawa. Bisa jadi mereka (baca ketiga etnis) ini memiliki karakter khas
tersendiri, baik itu tentang adat istiadat, pun bahasa.
Begini kisanak, tentu
tidak berlebihan jika sematan pertama bagi karakteristik orang Jawa adalah kata
Gotong Royong. Gotong royong adalah cerminan utama kehidupan sosial masyarakat
Jawa. Tentu dalam hal ini juga berlaku pada kebanyakan suku lain di Indonesia
secara umum. Tradisi guyub rukun atau sehati dalam kedamaian dalam laku gotong
royong ini menjadi kebutuhan bagi masyarakat Jawa.
Laku gotong royong ini
juga dapat kita temui dalam tradisi Suroan. Peristiwa tersebut merupakan salah
satu bentuk gotong royong yang melibatkan antara pihak keraton dan masyarakat
sehingga menciptakan solidaritas dan wujud kerukunan serta hubungan yang harmonis
yang masih lestari hingga kisanak membaca tulisan ini. Adalah benar bahwa
gotong royong merupakan bayangan sejati akan kepedulian kita terhadap sesama
manusia dan juga alam. Meskipun kita berpijak pada keyakinan yang berbeda.
Adalah bijak ungkapan seorang Mpu Tantular, “... bhinneka tunggal ika tan
hana dharmma mangrwa,”
Artinya : “... mereka
memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran
yang mendua,” hal ini tertuang dalam Kakawin Sutasoma benar-benar
diaplikasikan dalam tiap-tiap individu masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia
secara umum.
Karakteristik yang
kedua adalah Sopan Santun. Meski kata sopan santun merupakan wujud tata
kramayang tidak tertulis, namun kata-kata itulah yang akan membangun
kehidupan sosial yang indah dan harmonis. Bahkan boleh dibilang, bagi
masyarakat Jawa justru sikap tersebut adalah bagian dari kehalusan budi pekerti
seseorang yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat
memberikan kesan yang mendalam bagi umat manusia.
Dalam hal ini,
masyarakat Jawa memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika, baik dari
sikap maupun berbicara. Sebagai contoh untuk masalah sikap, ketika sedang
bertamu dan disuguhkan makanan, sebelum dipersilakan untuk mencicipi, sungkan
bagi orang Jawa untuk memakan atas apa yang telah dihidangkan, meski dalam
keadaan lapar sekalipun.
Dan sebagai contoh
dalam etika sopan santun ini, orang Jawa selalu menjaga segala kata dan
perbuatannya, “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana,” agar tidak
menyakiti hati orang lain. Dalam interaksi antarpersonal di lingkungan sosial,
masyarakat Jawa harus berpedoman pada istilah ngajeni. Ngajeni dalam hal ini
sebagai contoh saja dalam hal percakapan, baik antara yang lebih muda, sebaya,
dan yang lebih tua harus dibedakan dalam berbahasa.
Perbedaan dalam
berbahasa yang berstrata itulah yang boleh dikatakan sebagai salah satu ciri
khas dari orang Jawa. Dalam adab ngajeni ini seperti tertuang dalam sastra
lama, yakni Serat Wedatama (VIII),
“Socaning jiwangganira
Jer katara lamun pocapan pasthi Lumuh asor kudu unggul Sumengah sosorangan Yen
mangkono kena ingaran katunggul Karem ing reh kaprawiran Nora enak iku kaki”
Artinya: “Cacat jiwa
raganya memang terlihat sekali saat bertutur kata, sedikit pun tidak mau
mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Senang membanggakan diri dan angkuh,
hingga hilang kewaspadaan. Dia senang sekali terhadap sesuatu hal yang
berhubungan dengan keberanian, tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara
seksama. Hal semacam itu, Nak, sesungguhnya tidak menyenangkan.”
Selanjutnya adalah
orang Jawa Pandai Menyembunyikan Perasaan. Secara umum, orang Jawa memiliki
karakteristik semacam ini sehingga lebih cenderung tertutup dan sulit untuk
berterus terang.
Sekedar untuk tambahan
tulisan ini, untuk memahami karakter masyarakat Jawa, setidaknya kita bisa
melihatnya dalam dunia pewayangan yang merupakan dasar moral orang Jawa
mengenai kehidupan.
Perwatakan yang di
dalamnya ada dua tokoh cerita, Baratayudha; Kurawa dan Pandawa. Seperti yang
kita tahu, tokoh-tokoh Kurawa melambangkan perwatakan satria yang jahat.
Sedangkan Pandawa adalah perwujudan satria yang baik. Atau dalam kisah epik
lainnya, Ramayana, di mana Sri Rama sebagai representasi kebenaran serta kebaikan.
Sedangkan Dasamuka merupakan kebalikannya.
Akhir kata, tidak bisa
disebut putih, jika tidak ada hitam. Tidak ada kebaikan, jika tidak ada
kejahatan. Dua cerminan yang dimiliki dalam setiap jiwa manusia. Tidak peduli
dari bangsa Jawa, Sunda, Madura, Betawi, bangsa Lelembut, atau Planet Namek
sekalipun (jika memang planet itu ada), pasti ada bagian dari kebaikan dan
kejahatan. Tergantung dan tentunya balik pada diri kita sendiri untuk membawa
jiwa dan raga ini ke arah yang mana. Sekian dulu dan mohon dimaklumi jika ada
banyak kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar