Selasa, 28 Maret 2017

Memahami Karakteristik Masyarakat Suku Jawa

Bila Anda orang Jawa berarti sama dengan saya. Pertanyaan lanjutan, jika Anda orang Jawa apakah Anda bangga menjadi atau terlahir sebagai orang Jawa?  

Jika jawabannya bangga, pertanyaannya kemudian (takon meneh) seberapa jauhkah Anda mengenal sejarah asal mula dan karakteristik masyarakat Jawa?

Tentu saja pertanyaan di atas tidak bermaksud memaksa Anda untuk berpikir keras, apalagi menyalahkan ketidaktahuan Anda sebagai orang Jawa. Tidak sama sekali. Maksud dari tulisan ini semata-mata hanya urun rembug untuk melengkapi tulisan-tulisan perihal suku Jawa yang sudah ada.

Mencari tahu tentang asal mula suku Jawa memang ibarat mencari jejak di air. Begitu banyak sumber dan data sejarah yang mengemukakan tentang asal mula penduduk Jawa dengan berbeda-beda. Namun di tulisan ini saya hanya mencuplik dari satu sumber saja dulu, semoga di kemudian hari saya bisa menuliskan untuk kisanak secara khusus dari berbagai versi tersebut.

Ada 2 versi yang saya cuplik untuk menjadi pengantar tulisan ini adalah yang pertama dari buku Dunia Mistik Orang Jawa : Roh, Ritual, Benda Magis karya Capt. R.P Suyono, dalam bukunya Suyono menyebutkan bahwa asal-usul Tanah Jawa baru diketahui agak jelas dari cerita tentang kedatangan seorang Brahmana dari tatar India yang bernama Aji Sengkala.

Selanjutnya dalam babad (kisah) yang lain, menurut salah satu sejarawan yang berasal dari negeri Kincir Angin, Belanda, W.L. Olthof yang berjudul asli, Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647, (Babad Tanah Jawa Mulai dari Nabi Adam Sampai Pada Tahun 1647), menjelaskan bahwa yang menjadi bapak moyang orang Jawa sekaligus rajanya ialah Batara Wisnu, yang karena ada masalah dengan ayahnya, Batara Guru, lantas Tanah Jawa dipegang oleh Batara Brahma.

Adapun silsilah raja Jawa yang kalau ditarik dari awal (menurut W.L. Olthof) adalah Nabi Adam berputera Esis, Esis berputera Nurcahya, Nurcahya berputera Nurasa, Nurasa berputera Sanghyang Wening, Sanghyang Wening berputera Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tunggal berputera Batara Guru, Batara Guru beranak lima, Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri.

Jadi, seandainya kita berpegang pada hipotesa W.L. Olthof ini. Maka, jelas bahwa bapak moyangnya orang Jawa merupakan keturunannya Nabi Adam as yang ketujuh. Wallahu a’lam bishshawab.
Nah, demikian dua versi tentang asal mula suku Jawa yang mendiami pulau Jawa ini. Di kesempatan lain saya akan membahasnya lebih lanjut.

Baik, sekarang kita membahas tentang karakteristik masyarakat Jawa. Namun sebelumnya untuk menjadi pengertian untuk kita semua, bahwasanya pendiam pulau Jawa ini hidup bermacam etnis/suku/bangsa utama yang mendiaminya. Terbesar di ataranya yakni, suku Sunda, Madura, dan bisa juga kita tempatkan etnis Betawi. Kendatipun di pulau Jawa hidup berbagai macam suku, tapi untuk ketiga etnis tersebut  baik itu Sunda, Madura, dan Betawi tidak bisa kita katakan sebagai “orang Jawa”.

Namun satu hal yang pasti dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan suku Jawa adalah suku terbesar yang ada di Indonesia. Menurut bulek wiki (wikipedia), setidaknya tak kurang dari 44% dari total populasi bersuku Jawa. Umumnya, mereka tinggal di pulau Jawa, tepatnya, Jateng, Jatim, sebagian kecil tinggal di Jabar, Jakarta, dan juga Banten.

Khusus di Banten, keberadaan suku Jawa sudah ada sejak abad 16. Mereka datang dari Demak dan Kudus untuk menguasai dan menaklukan wilayah pesisir utara Banten. Jumlah mereka sangat banyak. Setelah dikuasai, mereka membentuk kerajaan Banten. dan akhirnya membentuk satu koloni di beberapa wilayah utara Banten.

Untuk etnis Sunda tentu saya tidaklah asing karena istri saya adalah urang Sunda, ada satu kesempatan pada sebuah acara keluarga saya pernah tanya sama kerabat istri saya. saya tanyakan sama uwa istri saya apakah orang Sunda bisa dikatakan sebagai orang Jawa? Jawabannya tegas, meski dengan tersenyum. Sungkan sama saya barangkali. Jawabannya tegas, Tidak!

Pertanyaan serupa pernah juga saya tanyakan pada seorang teman dari Sumenep, Madura dan periparan saya yang asli Betawi. Jawabannya serupa, Tidak.

Nah, bertelekan pada jawaban tidak di atas, saya secara pribadi ada satu simpulan. Meskipun suku Sunda, Madura, dan Betawi mendiami pulau Jawa mereka merasa enggan disebut orang Jawa. Bisa jadi mereka (baca ketiga etnis) ini memiliki karakter khas tersendiri, baik itu tentang adat istiadat, pun bahasa.

Begini kisanak, tentu tidak berlebihan jika sematan pertama bagi karakteristik orang Jawa adalah kata Gotong Royong. Gotong royong adalah cerminan utama kehidupan sosial masyarakat Jawa. Tentu dalam hal ini juga berlaku pada kebanyakan suku lain di Indonesia secara umum. Tradisi guyub rukun atau sehati dalam kedamaian dalam laku gotong royong ini menjadi kebutuhan bagi masyarakat Jawa.

Laku gotong royong ini juga dapat kita temui dalam tradisi Suroan. Peristiwa tersebut merupakan salah satu bentuk gotong royong yang melibatkan antara pihak keraton dan masyarakat sehingga menciptakan solidaritas dan wujud kerukunan serta hubungan yang harmonis yang masih lestari hingga kisanak membaca tulisan ini. Adalah benar bahwa gotong royong merupakan bayangan sejati akan kepedulian kita terhadap sesama manusia dan juga alam. Meskipun kita berpijak pada keyakinan yang berbeda. Adalah bijak ungkapan seorang  Mpu Tantular, “... bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa,”

Artinya : “... mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua,”  hal ini tertuang dalam Kakawin Sutasoma benar-benar diaplikasikan dalam tiap-tiap individu masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia secara umum.
 
Karakteristik yang kedua adalah Sopan Santun. Meski kata sopan santun merupakan wujud tata kramayang tidak tertulis, namun kata-kata itulah yang akan membangun kehidupan sosial yang indah dan harmonis. Bahkan boleh dibilang, bagi masyarakat Jawa justru sikap tersebut adalah bagian dari kehalusan budi pekerti seseorang yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat memberikan kesan yang mendalam bagi umat manusia.

Dalam hal ini, masyarakat Jawa memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika, baik dari sikap maupun berbicara. Sebagai contoh untuk masalah sikap, ketika sedang bertamu dan disuguhkan makanan, sebelum dipersilakan untuk mencicipi, sungkan bagi orang Jawa untuk memakan atas apa yang telah dihidangkan, meski dalam keadaan lapar sekalipun.

Dan sebagai contoh dalam etika sopan santun ini, orang Jawa selalu menjaga segala kata dan perbuatannya, “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana,” agar tidak menyakiti hati orang lain. Dalam interaksi antarpersonal di lingkungan sosial, masyarakat Jawa harus berpedoman pada istilah ngajeni. Ngajeni dalam hal ini sebagai contoh saja dalam hal percakapan, baik antara yang lebih muda, sebaya, dan yang lebih tua harus dibedakan dalam berbahasa.

Perbedaan dalam berbahasa yang berstrata itulah yang boleh dikatakan sebagai salah satu ciri khas dari orang Jawa. Dalam adab ngajeni ini seperti tertuang dalam sastra lama, yakni Serat Wedatama (VIII),
 “Socaning jiwangganira Jer katara lamun pocapan pasthi Lumuh asor kudu unggul Sumengah sosorangan Yen mangkono kena ingaran katunggul Karem ing reh kaprawiran Nora enak iku kaki”
Artinya: “Cacat jiwa raganya memang terlihat sekali saat bertutur kata, sedikit pun tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Senang membanggakan diri dan angkuh, hingga hilang kewaspadaan. Dia senang sekali terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan keberanian, tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara seksama. Hal semacam itu, Nak, sesungguhnya tidak menyenangkan.”

Selanjutnya adalah orang Jawa Pandai Menyembunyikan Perasaan. Secara umum, orang Jawa memiliki karakteristik semacam ini sehingga lebih cenderung tertutup dan sulit untuk berterus terang.
Sekedar untuk tambahan tulisan ini, untuk memahami karakter masyarakat Jawa, setidaknya kita bisa melihatnya dalam dunia pewayangan yang merupakan dasar moral orang Jawa mengenai kehidupan.

Perwatakan yang di dalamnya ada dua tokoh cerita, Baratayudha; Kurawa dan Pandawa. Seperti yang kita tahu, tokoh-tokoh Kurawa melambangkan perwatakan satria yang jahat. Sedangkan Pandawa adalah perwujudan satria yang baik. Atau dalam kisah epik lainnya, Ramayana, di mana Sri Rama sebagai representasi kebenaran serta kebaikan. Sedangkan Dasamuka merupakan kebalikannya.

Akhir kata, tidak bisa disebut putih, jika tidak ada hitam. Tidak ada kebaikan, jika tidak ada kejahatan. Dua cerminan yang dimiliki dalam setiap jiwa manusia. Tidak peduli dari bangsa Jawa, Sunda, Madura, Betawi, bangsa Lelembut, atau Planet Namek sekalipun (jika memang planet itu ada), pasti ada bagian dari kebaikan dan kejahatan. Tergantung dan tentunya balik pada diri kita sendiri untuk membawa jiwa dan raga ini ke arah yang mana. Sekian dulu dan mohon dimaklumi jika ada banyak kekurangan.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar