
Secara umum
diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya
pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa
Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya
Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal
dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334
Masehi.
Rangkaian sastra yang
di bubuhkan dalam bentuk tembang Macapat Jawa yang diawali dari maskumambang
sampai pucung bisa diartikan sebagai unsur yang mengkiaskan fase-fase kehidupan
manusia Jawa.
Dilihat dari
perspektif alur dan makna yang terkandung dalam rangkaian tembang Macapat Jawa
tersebut, adalah sebuah rangkaian alur kehidupan dan keberadaan manusia
(ontologi), cara menemukan hakikat hidup yang benar (epistemologi), dan
sekaligus mempunyai nilai etik jawa (aksiologi).
Dalam hal ini ketiga
unsur tersebut adalah kerangka yang membangun filsafat Jawa itu sendiri.Tembang
macapat diyakini sebagian besar orang jawa sebagai kelompok tembang yang
memiliki makna proses hidup manusia, proses dimana Tuhan memberikan ruh-Nya,
hingga manusia tersebut kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir
hingga kematiannya digambarkan dengan runtut dalam dua belas tembang macapat.
TRIWIKRAMA
Triwikrama adalah tiga
langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses
penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun
masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman
kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian.
Di sana roh belum
terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan”
(nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang
pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman
tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati
sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu).
Penitisan atau langkah
kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai
zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu
mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang
rena yang mengukir raga.
Selama 9 bulan calon
manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan
raga. Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan
lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian
langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi
manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.
Panitisan terakhir
Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau
rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan
mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha
berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara
tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.
SAKA GURU
Nah, di zaman Madya
atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif.
Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib
gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif
yang ada di dalam segumpal darah (kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan
hidup Paling Singkat namun paling Berat dan Sangat Menentukan kemuliaan manusia
dalam Kehidupan Sebenarnya yang sejati abadi azali.
Para perintis bangsa
di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses
mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum
dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan
proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik
nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir,
sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti
dilalui setiap insan.
Penekanan ada pada sifat-sifat
buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun
dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut
ini alurnya :
MIJIL
Mijil artinya lahir.
Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang
bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak
Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu
pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi
terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah
Gusti untuk lahir ke bumi.
Sang bayi yang mijil
dari rahim ibunya adalah suci, dia tidak bisa memilih terlahir dari siapa,
misalpun terlahir dari hubungan “tidak sah”, sang bayi tetaplah suci, ibarat
kertas ia masih bersih putih tanpa coretan. Ketika sang bayi lahir saat itulah
ia mengenal dunia pertama kalinya, ia diberi wewenang untuk menjalani kehidupan
selanjutnya. Ia dihadirkan untuk bisa menjadi “manusia” hingga suatu saat bisa
kembali kepada-Nya dengan damai.
Sang bayi mengenal
bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang
polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini
orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan
laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat.
Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat
atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
MASKUMAMBANG
Setelah lahir si
jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang
melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang
bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan
tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang.
Takjub memandang
kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si
ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang,
dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas
segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan.
Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan
bangsa.
KINANTI
Semula berujud jabang
bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi
kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan
dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing
dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat
menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah
ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing)
agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

Diusia remaja ia sudah
mengenal baik dan buruk, sudah sedikit mengenal asmara, sudah mengenal banyak
hal namun belum bisa menentukan pilihan secara bijaksana karena masih mudah
terombang-ambing dengan pilihannya.
SINOM
Sinom isih enom.
Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan
keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam
selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan
sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak,
batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala
tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom
(muda) hidupnya sering salah kaprah.
Dalam bahasa Jawa
Sinom bisanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih muda, beberapa
kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih enom (masih muda). Meski
berbeda-beda dalam mengartikan, namun pada prinsipnya tetap sama dalam
mengintepretasikan kata Sinom yakni tentang sesuatu yang masih muda.
Setelah bayi lahir ia
menjadi seorang anak yang dalam perkembangannya akan menjadi seorang anak muda
yang dinamis. Tembang macapat Sinom secara umum memang memberi gambaran tentang
seseorang yang menginjak usia muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan
angan-angan hingga menjelang usia akil-balik ataupun dewasa. Dalam istilah
konotasi bahasa Indonesia, orang yang masih muda belia sering dikatakan sebagai
daun muda.
Sifat tembang macapat
Sinom adalah bersemangat, bijaksana dan sering digunakan untuk piwulang
(mengajari) dan wewarah (membimbing).
DHANDANGGULA
Remaja beranjak
menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang
belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa
tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana.
Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa.
Bagi anak baru dewasa,
yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani
melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih
sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula
ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera.
Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa
merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta,
yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi
diri sendiri, orang tua dan keluarga.
Cita-citanya setinggi
langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung
langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya
masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi
bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada.
Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua
tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum
mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
Tembang macapat
Dandanggula memiliki makna harapan yang indah, kata dandanggula sendiri
dipercaya berasal dari kata gegadhangan yang berarti cita-cita, angan-angan
atau harapan, dan dari kata gula yang berarti manis, indah ataupun bahagia.
Selain mempunyai arti
harapan yang indah, beberapa kalangan juga ada yang menafsirkan Dandanggula
berasal dari kata dhandang yang berarti burung gagak yang melambangkan duka,
dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka. Kebahagiaan dapat
dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-duka dalam berumah
tangga sehingga akan tercapai cita-citanya, cukup sandang, papan dan pangan.
Seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya
dandanggula.
Tembang ini memiliki
watak yang Luwes, gembira dan indah, sangat cocok digunakan sebagai tembang
pembuka yang menjabarkan berbagai ajaran kebaikan, ungkapan rasa cinta dan
kebahagiaan.
ASMARADANA
Asmaradana atau asmara
dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan
oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja.
Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang
dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa
semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara
membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena.
Jika tidak, akan
menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia
dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing
mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki
gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru.
Seyogyanya suka meniru
tindak tanduk sang guru laku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah
menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu.
Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu,
apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu.
Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
Tembang Macapat
Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan gejolak
asmara yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki makna
asmara dan dahana yang berarti api asmara.
Sebagaimana kehidupan,
ia digerakkan oleh asmara, cinta, welas asih. Banyak yang percaya, dengan
kekuatan cinta apapun bisa dilakukan. Bukan hanya cinta kepada sesama manusia,
namun juga cinta terhadap Tuhan dan cita pada alam semesta.
Macapat Asmaradana
juga sering disebut sebagai Asmarandana, adalah lagu kasmaran yang sering
digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta, baik untuk lagu sedih karena
patah hati, kecewa cintanya ditolak, pasangan bahagia, maupun sebuah
pengharapan pada pasangan.
GAMBUH
Gambuh atau Gampang
Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang
teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak
pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar.
Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar.
Di mana-mana ingin
diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang
berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari
jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah
dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang.
Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah
menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi.
Padahal pemahamannya
sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa
ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan
ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari
anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi
orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap
perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang
dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang macapat Gambuh
dalam rangkaian tembang macapat memiliki makna “cocok” atau sepaham. Tembang
ini untuk menggambarkan seseorang dikala memasuki masa-masa indah atau masa
menikah. Pernikahan menjadi sebuah tanda persetujuan (sarujuk) atas dua keluarga,
sebagai obat (gambuh) atas panasnya kobaran api cinta yang digambarkan dalam
tembang macapat Asmarandana.
Watak dari tembang
gambuh diantaranya adalah Sumanak (ramah terhadap siapapun), sumadulur
(persaudaraan yang erat), Mulang (mengajarkan), dan Pitutur (nasehat). Sebagai
salah satu tembang yang memuat berbagai nasihat, tembang macapat Gambuh
biasanya digunakan oleh para orang tua untuk menasihati anak-anaknya atau para
generasi muda tentang bagaimana membangun kehidupan antar sesama, misalnya bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya (bijaksana), bisa memberikan sesuatu sesuai
dengan porsinya (adil), dan lain sebagainya.
DURMA
Munduring tata krama.
Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang
jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi
Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang
mewakili makna negatif (awon).
Sebut saja misalnya :
duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya,
dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma,
diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia
yang cenderung berbuat buruk atau jahat.
Manusia gemar udur
atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang
lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri
(nuruti rahsaning karep).
Walaupun merugikan
orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan
dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau
disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak
peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspada.
Tembang macapat Durma
merupakan tembang macapat yang menggambarkan kondisi ketika manusia telah
menikmati segala kenikmatan dari Tuhan. Dalam banyak kasus, manusia akan
mengingat Pencipta-nya saat ia dalam kondisi kesulitan, dan ia akan lupa ketika
dalam kondisi kecukupan.
Memang sudah
seharusnya ketika manusia dalam kondisi kecukupan ia akan bersyukur, namun pada
kenyataannya justru seringkali ia bersifat sombong, angkuh, serakah, suka
mengumbar hawa nafsu, mudah emosi dan berbuat semena-mena terhadap sesamanya.
Sifat-sifat buruk inilah yang mungkin digambarkan dalam tembang macapat Durma.
Durma bagi beberapa kalangan diartikan sebagai munduring tata krama, (mundurnya
etika).
Tembang macapat Durma
biasanya digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat amarah, berontak, dan juga
semangat perang. Ia menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk,
egois dan ingin menang sendiri.
PANGKUR
Bila usia telah uzur,
datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang
dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas
apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali
diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta
yang hina dina sudah tak berguna.
Anak cucu kadang menggoda,
masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup
merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja,
sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan.
Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana - kemari ingin mengaji, tak tahu jati
diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji.
Tabungan menghilang
sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas
ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada
hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang,
karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang.
Tembang macapat
Pangkur bagi orang jawa sering dimaknai sebagai proses mengurangi hawa nafsu
dan mungkur dari urusan duniawi. Dalam tahap ini, manusia sudah memasuki usia
senja dimana sesorang akan “berkaca” tentang dirinya, tentang masa lalunya,
tentang pribadi dan Tuhannya dan lain sebagainya.
Pangkur yang juga
berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri), memberi gambaran bahwa manusia
mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari kehidupan ragawi dan menuju
kehidupan jiwa atau spiritualnya.
Tembang macapat
Pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat),
pertemanan, dan sayang. Dalam tembang ini juga berbicara tentang kegembiraan
dan pengendalia hawa nafsu. Meski demikian tembang macapat Pangkur juga sering
digunakan dalam tembang-tembang asmara.
MEGATRUH
Megat ruh, artinya
putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba
sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.
Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama
ini menyembah Tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan
berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang
sejati.
Betapa kebaikan di
dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang
sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri
ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga,
namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala
telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai
dan menyakiti hati sesama manusia.
Kini telah tiba
saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan
akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata.
Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi
penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering
merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun
tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya
demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa
dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang macapat
Megatruh merupakan salah satu tembang macapat yang menggambarkan tentang
kondisi maunisa di saat sakaratul maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal
dari kata megat/pegat (berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya antara jiwa
dan raga.Kematian menjadi hal yang paling ditekankan dalam tembang Megatruh,
proses dimana setiap makhluk hidup di dunia pasti akan mengalaminya, proses
yang menegangkan sekaligus menyakitkan bagi banyak orang, proses terbukanya
gerbang menuju kehidupan yang tak pernah ada akhirnya.
Bagi para pemuka agama
sangat meyakini bahwa ruh akan lepas dengan mudah dan ringan untuk mereka yang
memiliki iman. Bagi orang yang beriman Malaikat akan datang dan mengambil
nyawanya dengan kesan yang baik serta menggembirakan.Kematian secara medis
terjadi ketika otak telah kehabisan suplai oksigen, sel otak mati secara
massal, dan seluruh organ tubuh sudah tidak dapat lagi bekerja.
Tidak mudah memang
memprediksikan secara tepat kapan seseorang akan meninggal. Kematian dapat
disebabkan karena sakit, kecelakaan atau sebab lainnya secara mendadak. Meski
demikian beberapa orang juga ada yang mampu menemukan keanehan ataupun
tanda-tanda menjelang kematiannya,
Sifat dan karakter
dari tembang macapat Megatruh diantaranya sedih, prihatin, “getun”, menyesal.
Tembang macapat ini sangat cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan,
prihati, sedih.
POCUNG
Pocung atau pocong
adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara
kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan
abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya
kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa
meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia
sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam
yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri
telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit
hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain
kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini
ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah
bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama
nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang.
Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang.
Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh
jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang
durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang
nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus
pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak
satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami
dosa.
Tuhan Maha Tahu dan
Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput.
Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang
dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka
menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang
suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi
orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah
rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…!
Oleh sebab itu, hidup
kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak
sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih
baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi
memedi
.
Megatruh berarti
proses perpisahan antara Jiwa dan Raga, kini kita akan mengenal satu tembang
macapat Pucung atau sering ditulis dengan Pocung yang biasa diartikan dengan
pocong/pengkafanan jenazah.
Bagi orang Jawa, badan
wadag yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan dirawat dan disucikan
sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu pertiwi (tanah). Jasad
akan dimandikan dan dibungkus dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian.
Tembang macapat Pucung
merupakan satu tembang yang digunakan sebagai pengingat akan datangnya
kematian. Hadirnya manusia di dunia yang sementara ini akan ada satu masa titik
akhir dimana ia harus berpisah dengan segala yang ia cintai semasa hidup. Harta
benda, keluarga, pangkat dan jabatan tidak bisa ia bawa sebagai bekal dalam
menghadapi hari akhir.
Tidak ada satupun
manusia yang tau apa yang akan terjadi setelah kematiannya, semua menjadi
teka-teki, dan setiap orang berhak untuk menebak atas dasar tanda-tanda alam
maupun kitab suci yang diyakini. Mungkin karena itulah kenapa tembang macapat
Pucung lebih banyak berisi teka-teki yang terkadang bisa bersifat jenaka. Dari
tembang Pucung manusia dituntut untuk berpikir, mengkaji, dan mencari jawaban
atas teka-teki ini.
Watak tembang macapat
Pucung adalah sembrana parikena, biasanya dipakai untuk menceritakan hal-hal
yang ringan, jenaka atau teka-teki. Meski ringan dan jenaka, namun dalam
tembang ini membawa pesan yang berisi nasihat-nasihat untuk membangun hubungan
harmonis antara manusia, alam, lingkungan dan Tuhannya.
WIRANGRONG
Hidup di dunia ini
penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun
manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia
harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus
saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang,
bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus
peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia
lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai
kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana,
rahmatan lil alamin.

Jika manusia tak
bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad,
merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia
di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka
menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka
berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan
menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini,
semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah
kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak
ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam
yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta.
Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya
manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam
keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi
dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas
kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang
masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di
alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar