
Jika di tilik dari
bahasa, sesaji berasal dari kata saji. Sajian, sesajian, maknanya sama
dengan hidangan. Secara harfiah, menyajikan berarti menghidangkan. Sesaji kata
benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian bermakna jamak atau plural.
Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan atau dalam bahasa lain sesaji dibuat
sebagai wujud sedekah.
Sedekah dalam hal ini
tidak pada sebatas dilakukan pada antar sesama manusia, melainkan bisa
dilakukan kepada makhluk hidup yang lain apakah itu tumbuhan, binatang,
bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni
bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad
raya ini.
Sesaji dalam pandangan
hidup orang Jawa adalah sebagai harmonisasi dengan alam. Falsafah hidup
masyarakat Jawa inilah sejatinya prinsip dasar yang melandasi tindakan
seseorang untuk memberikan sesaji atau sedekah. Tetapi akibat kurangnya
pemahaman tentang sesaji, hal itu menimbulkan stigma, yakni penilaian negative
dan pemahaman yang melenceng jauh dari prinsip dasar, pengertian, maksud dan
tujuan sesaji itu sendiri. Kadang muncul stigma sangat tendensius yang
menghakimi tindakan memberikan sesaji.
Padahal dalam upacara
sesaji sesungguhnya memiliki nilai luhur kearifan local masyarakat Indonesia.
Tindakan destruktif, brutal dan tidak bertanggungjawab kadang dilakukan
sekelompok orang dengan mengatasnamakan pembelaan Tuhan. Itu terjadi karena
orang tidak tahu jika dirinya sedang tidak tahu, tidak sadar jika dirinya
sedang terbenam dalam ketidaksadaran yang sangat membius.

Rasa welas asih
menjadi pondasi melakukan sedekah sesaji. Itu disebut pula urip (hidup) yang
murup (menyala), atau hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan di planet bumi.
Jangankan menyakiti apalagi membunuh orang lain yang beda pendapat, mengumpat
dan meledek pun tidak dilakukannya. Perbuatan demikian itu jelas merupakan
tindakan melawan hukum alam. Cepat atau lambat pasti akan tergulung oleh
mekanisme hukum keadilan alam.
Baik, sebelum kita
membahasnya lebih lanjut ada baiknya kita menyelarasakan pemahaman terlebih
dahulu tentang sesaji ini. Saya tidak mengatakan seluruhnya, namun
pandanga-pandangan miring dan salah kaprah meyoal tentang sesaji ini tetaplah
tak terelakkan. Sedikit saya ambilkan contohnya.
Selain dari pandangan
yang sudah saya narasikan di atas, bahwa sesaji adalah bid’ah, musyrik atau
sebangsa dengan bahasa yang demikian. Sesaji juga dianggap sebagai bentuk suap
atau sebagai perilaku untuk merayu dahnyang, setan, dan sebagainya agar
bersedia membantu manusia.
Pandangan miring
berikutnya adalah, menganggap manusia yang membuat sesaji sebagai orang yang
tunduk-patuh, takluk, bahkan menyembah makhluk halus. Lebih tragisnya lagi
adalah anggapan bahwa memberikan sajen atau sesaji akan membuat makhluk halus
menjadi ketagihan dan akan menganggu jika orang tidak lagi memberikan sajen.

Sedekah dalam hal ini
tidak pada sebatas dilakukan pada antar sesama manusia, melainkan bisa
dilakukan kepada makhluk hidup yang lain apakah itu tumbuhan, binatang,
bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni
bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad
raya ini.
Secara garis besar dan
umum dilakukan masyarakat Jawa setidaknya terdapat tiga macam sesaji yang
dibedakan menurut tujuan membuatnya.
Bancakan termasuk
sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat
untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang. Untuk itu bancakan
biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa hidangan khusus
yang menimbulkan selera makan. Untuk itu membuat bancakan tidak boleh
sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin agar orang-orang yang kita
sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya sederhana saja yakni, kalau mau
memberikan sedekah, maka berikan sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain.
Jangan pernah berikan “sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri
sudah enggan memakannya.
Bancakan dibuat oleh
seseorang, kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan
misalnya dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa
permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat mengekspresikan rasa
sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di mulut saja, tetapi
mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata misalnya sedekah. Doa mohon
keselamatan, doa permohonan untuk mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya
dibuka dengan sedekah. Karena sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan
diri kita menjadi orang yang layak menerima anugrah.
Sajen merupakan bahasa
Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji
yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen biasanya tidak selalu berupa
hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang berupa bahan-bahan yang tidak enak dan
tidak mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan,
dupa, kunyit mentah, dlingo dan bengle dll.
Sajen dalam bahasa
kraton lebih familiar disebut sebagai bebono atau pengorbanan atau kurban.
Namun disini jangan membayangkan “pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal
setan yang menyeramkan.
Sama dengan bancakan,
bebono juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh
makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan bijaksana,
manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa hidup di dunia ini
selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup, yang kasat mata, maupun yang
tidak kasat mata.
Manusia juga hidup
menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini. Dalam
filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta itu menyadarkan kita bahwa
salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah untuk saling
menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di antara makhluk hidup
yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun terhadap hewan, tumbuhan, dan
makhluk halus.
Dalam filsafat hidup
Jawa, ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai,
menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak
hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada intinya apa
maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau
bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur
dan sebagai manisfetasi sikap welas asih secara nyata kepada seluruh makhluk
penghuni planet bumi.

Bangsa halus tidak
boleh diperlakukan semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan
Tuhan, untuk mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum
alam (kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk
dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata hukum
keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang sebagai
makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang adil dan bijaksana
sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab dan santun kepada alam
semesta dan seluruh penghuninya.
Pisungsung artinya
persembahan. Dalam konteks ini pisungsung lebih difokuskan kepada eksistensi
supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit (leluhur) yakni
orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi. Pisungsung merupakan wujud
ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan.
Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui
lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga
persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual
menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung, membersihkan pusara dst.
Kita perlu mengenang
para leluhur, selain sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta
berusaha mengambil sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah
mendahului kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa minuman
dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang dulunya disukai oleh
orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai tradisi yang berlaku di
masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung tali rasa sih-katresnan
antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar