Kamis, 09 Maret 2017

Memahami Makna Tradisi Hatur Sesaji


Sajen atau Sesaji? bagi masyarakat Jawa memiliki makna tersendiri dalam pelaknanaannya. Musyrik, bid’ah, ataukah malah lebih keras lagi satu perilaku memuja setan. Semua jawaban sah-sah saja, lagi pula kami bukan ahli agama yang bisa memberikan jawaban dengan dalil-dalil yang konkrit. Terlepas apapun jawaban dari pembaca sekalian, pada kesempatan ini saya coba melihat dari sudut pandang yang lain, terlepas dari lembaga apapun keyakinan kita masing-masing.


Jika di tilik dari bahasa, sesaji berasal dari kata saji. Sajian, sesajian, maknanya sama  dengan hidangan. Secara harfiah, menyajikan berarti menghidangkan. Sesaji kata benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian bermakna jamak atau plural.  Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan atau dalam bahasa lain sesaji dibuat sebagai wujud sedekah.

Sedekah dalam hal ini tidak pada sebatas dilakukan pada antar sesama manusia, melainkan bisa dilakukan  kepada makhluk hidup yang lain apakah itu tumbuhan, binatang, bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad raya ini.

Sesaji dalam pandangan hidup orang Jawa adalah sebagai harmonisasi dengan alam. Falsafah hidup masyarakat Jawa inilah sejatinya prinsip dasar yang melandasi tindakan seseorang untuk memberikan sesaji atau sedekah. Tetapi akibat kurangnya pemahaman tentang sesaji, hal itu menimbulkan stigma, yakni penilaian negative dan pemahaman yang melenceng jauh dari prinsip dasar, pengertian, maksud dan tujuan sesaji itu sendiri. Kadang muncul stigma sangat tendensius yang menghakimi tindakan memberikan sesaji.

Padahal dalam upacara sesaji sesungguhnya memiliki nilai luhur kearifan local masyarakat Indonesia. Tindakan destruktif, brutal dan tidak bertanggungjawab kadang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan pembelaan Tuhan. Itu terjadi karena orang tidak tahu jika dirinya sedang tidak tahu, tidak sadar jika dirinya sedang terbenam dalam ketidaksadaran yang sangat membius.

Seperti telah saya narasikan pada paragraf di atas bahwa sesaji merupakan usaha untuk berharmoni dengan hukum alam. Penjelasan singkatnya begini, seseorang memberikan sedekah kepada beragam kehidupan yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedekah ini merupakan artikulasi nyata dari kesadaran manusia untuk saling menjaga kelestarian alam, menjaga keharmonisan dan kelangsungan ekosistem dan lingkungan hidup.

Rasa welas asih menjadi pondasi melakukan sedekah sesaji. Itu disebut pula urip (hidup) yang murup (menyala), atau hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan di planet bumi. Jangankan menyakiti apalagi membunuh orang lain yang beda pendapat, mengumpat dan meledek pun tidak dilakukannya. Perbuatan demikian itu jelas merupakan tindakan melawan hukum alam. Cepat atau lambat pasti akan tergulung oleh mekanisme hukum  keadilan alam.

Baik, sebelum kita membahasnya lebih lanjut ada baiknya kita menyelarasakan pemahaman terlebih dahulu tentang sesaji ini. Saya tidak mengatakan seluruhnya, namun pandanga-pandangan miring dan salah kaprah meyoal tentang sesaji ini tetaplah tak terelakkan. Sedikit saya ambilkan contohnya.

Selain dari pandangan yang sudah saya narasikan di atas, bahwa sesaji adalah bid’ah, musyrik atau sebangsa dengan bahasa yang demikian. Sesaji juga dianggap sebagai bentuk suap atau sebagai perilaku untuk merayu dahnyang, setan, dan sebagainya agar bersedia membantu manusia.

Pandangan miring berikutnya adalah, menganggap manusia yang membuat sesaji sebagai orang yang tunduk-patuh, takluk, bahkan menyembah makhluk halus. Lebih tragisnya lagi adalah anggapan bahwa memberikan sajen atau sesaji akan membuat makhluk halus menjadi ketagihan dan akan menganggu jika orang tidak lagi memberikan sajen.

Jika di tilik dari bahasa, sesaji berasal dari kata saji. Sajian, sesajian, maknanya sama  dengan hidangan. Secara harfiah, menyajikan berarti menghidangkan. Sesaji kata benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian bermakna jamak atau plural.  Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan atau dalam bahasa lain sesaji dibuat sebagai wujud sedekah.

Sedekah dalam hal ini tidak pada sebatas dilakukan pada antar sesama manusia, melainkan bisa dilakukan  kepada makhluk hidup yang lain apakah itu tumbuhan, binatang, bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad raya ini.

Secara garis besar dan umum dilakukan masyarakat Jawa setidaknya terdapat tiga macam sesaji yang dibedakan menurut tujuan membuatnya.

Bancakan termasuk sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang.  Untuk itu bancakan biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa hidangan khusus yang menimbulkan selera makan.  Untuk itu membuat bancakan tidak boleh sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin agar orang-orang yang kita sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya sederhana saja yakni, kalau mau memberikan sedekah, maka berikan sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jangan pernah berikan “sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri sudah enggan memakannya.

Bancakan dibuat oleh seseorang, kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan misalnya dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat mengekspresikan rasa sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di mulut saja, tetapi mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata misalnya sedekah. Doa mohon keselamatan, doa permohonan untuk mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya dibuka dengan sedekah. Karena sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan diri kita menjadi orang yang layak menerima anugrah.
 

Sajen merupakan bahasa Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen biasanya tidak selalu berupa  hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang berupa bahan-bahan yang tidak enak dan tidak mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan, dupa, kunyit mentah, dlingo dan bengle dll. 

Sajen dalam bahasa kraton lebih familiar disebut sebagai bebono atau pengorbanan atau kurban. Namun disini jangan membayangkan “pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal setan yang menyeramkan.

Sama dengan bancakan, bebono juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan bijaksana, manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata.

Manusia juga hidup menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini. Dalam filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta  itu menyadarkan kita bahwa salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di antara makhluk hidup yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun terhadap hewan, tumbuhan, dan makhluk halus.

Dalam filsafat hidup Jawa, ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai, menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada intinya apa maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau  bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur dan sebagai manisfetasi sikap welas asih secara nyata kepada seluruh makhluk penghuni planet bumi.

Dapat dianalogikan, seperti apa yang dilakukan orang tua yang menyayangi anak-anak tentu mereka akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran, beaya dan waktu untuk membahagiakan anak-anak mereka. Orang tua telah memberikan bebono kepada anak-anaknya. Dalam konteks bebono, pengorbanan atau sedekah sebagai wujud nyata kasih sayang itu lebih difokuskan kepada bangsa halus.

Bangsa halus tidak boleh diperlakukan semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, untuk mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum alam (kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata hukum keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang sebagai makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang adil dan bijaksana sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab dan santun kepada alam semesta dan seluruh penghuninya.

Pisungsung artinya persembahan. Dalam konteks ini pisungsung lebih difokuskan kepada eksistensi supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit (leluhur) yakni orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi. Pisungsung merupakan wujud ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan. Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung, membersihkan pusara dst.

Kita perlu mengenang para leluhur, selain sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta berusaha mengambil sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah mendahului kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa minuman dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang dulunya disukai oleh orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai tradisi yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung tali rasa sih-katresnan antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.

Sampai di sini, mudah-mudahan saya dan kerabat akarasa dapat memahami dengan bijaksana. Dengan memahami nilai luhur filsafat dalam sesaji seperti uraian di atas, diharapkan bagi siapapun yang sedang membuat dan berbagi sesaji dapat menanamkan pola pikir (mind set) yang tepat pula. Sehingga sesaji menjadi lebih besar nilai filsafatnya, dan lebih efektif untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan kita. Opini miring telah merusak nilai luhur yang terkandung dalam ritual hatur sesaji. Bahkan membeloknya esensi tujuannya. Bahkan opini miring telah merusak pola pikir serta mengotori kalbu pelakunya. Jika sudah rusak pola pikirnya, kemudian orang menjadikannya sebagai alasan untuk memojokkan dan menjelekkan tradisi hatur sesaji. Bahkan kemudian melarangnya dengan cara menakut-nakutinya sebagai tindakan berdosa.  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar