Kamis, 09 Maret 2017

Kutukan dan Nikmat Birahi dalam Kisah Dewi Suksesi dan Resi Wisrawa,


Kisah dunia pewayangan yang kami tuturkan kali ini adalah bagian dari kisah epik Ramayana. Penutur pertama kisah ini adalah Valmiki, kisanak tentu juga tahu nama yang saya sebutkan barusan tentu tak ada hubungannya dengan Val Kilmer, jauh di seberang sana, negerinya Sahrukh Khan. India.

Ramayana ini, senasib sepenanggungan dengan kisah epik lainya yang muasalnya sama-sama dari India, Mahabarata, sesampainya di Indonesia lalu diaransemen ulang. Disesuiakan dengan budaya lokal tentunya dan kemudian dianggap sebagai milik sendiri. kira-kira begitulah.

Kisah Sukesi ini sejatinya adalah sempalan cerita (carangan). Disebut sempalan, karena cerita ini adalah cerita tambahan, tempelan atau sisipan dari kisah utama, hasil olah "aransemen" karya anak bangsa, yang justru tidak dikenal dalam kisah aslinya. Jangan tanyakan siapa pengarang atau penggubahnya, saya tidak tahu. Karena mungkin masa itu penggubah cerita tidak terlalu dihargai hak intelektualnya. Jadi miris, tidak mendapatkan royalti kan akhirnya!

Nah, setiap cerita sempalan, biasanya sarat pesan, penuh pitutur (petuah, nasehat) dan tuladha (contoh). Dengan kearifan tradisi, semua pesan ini dibungkus rapat dalam alur cerita yang indah. Kalau kita tidak jeli, semuanya akan berlalu begitu saja, tertutup oleh bungkus yang memang indah ini. Apalagi cerita ini, yang bertemakan petuah yang menyerempet-nyerempet hubungan antara lelaki dan perempuan.

Ya, dari dulu seks jadi hal tabu dibicarakan secara terbuka. Sarananya? Ya, cerita macam inilah. Kalau saya sebut di judul sebagai tradisi Jawa, sepertinya tidak tepat benar, karena cerita ini juga dikenal di Sunda dan Bali.

Cerita ini biasanya dipentaskan melalui pagelaran Wayang Orang atau Wayang Kulit (Jawa) dan Wayang Golek (Sunda). Judul ceritanya bisa macam-macam, tapi biasanya tidak jauh dari: Alap-alapan Sukesi (Kisah Sukesi), Laire Dasamuka (Lahirnya Dasamuka), Sastra Jendra.

Kuno? Ndak relevan lagi dengan kemajuan dan teknologi kekinian? Hambok, simak dulu, baru komentar! Nah, bagaimana? Sekarang bolehkah saya dipersilahkan menuturkan rangkaian cerita ini? Baik, jika demikian.
Kisah Ramayana tidak dapat lepas dari peran tokoh sakti yang bernama Wisrawa, putra Resi Padwa. Menurut silsilah, Wisrawa masih keturunan Batara Sambo. Sejak muda, Wisrawa sudah terkenal sakti mandraguna, karena gemar bertapa dan terus ngengulang (belajar) olah kanuragan. Setelah dewasa, Wisrawa menikah dengan Dewi Lokawati, putri Prabu Lokawana yang juga raja negeri Lokapala. Dari perkawinan itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Wisrawana.

Setelah Prabu Lokawana mangkat, atas persetujuan Putri Lokawati, Wisrawa dinobatkan sebagai pengganti mertuanya menjadi raja Lokapala. Ketika memegang tampuk kerajaan, ia bergelar Prabu Wisrawa. Ketika usia Wisrawa memasuki usia senja dan menjadi begawan (pendeta), maka yang menggantikannya adalah Wisrawana yang akhirnya bergelar Prabu Danaraja atau Prabu Danapati.

Selain Lokapala, ada negara yang cukup masyur dalam cerita Ramayana, yaitu Alengka atau Alengkadiraja. Nah, dalam kisah ini, Prabu Sumali, raja Alengka sedang pusing berat. Anak perempuan semata wayangnya, Dewi Sukesi yang cantik bak bidadari ogah disuruh kawin, biar usianya sudah sangat cukup. Tentu hal ini membuat Prabu Sumali masygul, gundah hatinya. Apa kata rakyatnya jika putrinya yang jelita ini menjadi prawan kasep.

Ya, putrinya hanya mau menikah dengan laki-laki yang mampu menjelaskan padanya arti yang terkandung dalam surat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Berkat ilmunya yang tinggi, Prabu Sumali sebenarnya tahu isi dan arti surat itu. Dia tahu juga siapa-siapa saja yang menguasai ilmu itu, tapi dia tahu betul bahwa menjelaskannya kepada siapapun adalah terlarang, karena itu rahasia Dewa.

Sudah ratusan kali dia menjelaskannya pada putrinya, tapi Dewi Sukesi tetap ngeyel saja. Putrinya percaya, suatu hari akan datang laki-laki jodohnya yang sanggup menjelaskan padanya arti surat itu. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu!

Meskipun tanpa koran, tanpa impotemen, tanpa hape apalagi internet, kabar itu sudah menyebar ke seluruh dunia (pewayangan). Tidak ada laki-laki yang tidak tertarik oleh wanginya mawar Alengka yang seksi dan semloheh ini. Bermacam bujukan, rayuan bahkan ancaman ditujukan kepada sang Putri dan bapaknya. Tapi Sukesi tetap bergeming. Dan meskipun nggondok, tapi tidak ada seorang calonpun yang berpikir untuk mengganggu stabilitas negara kuat seperti Alengka.

Status quo Sang Dewi rasanya akan berkepanjangan. Kabar ini akhirnya sampai juga ke negara Lokapala. Prabu Danaraja, raja Lokapala yang baru saja duduk di tahta menggantikan ayahnya, masih bujangan ting-ting. Konon, cakepnya sekelas Brad Pitt. Segudang perempuan pasti mau kalau dia mengajak kawin. Masalahnya, sang Prabu Danaraja ini tergila-gila abis oleh Dewi Sukesi. Dia juga tahu persis, ayahnya yang baru saja meletakkan tahta dan menjadi pendeta itu, Begawan Wisrawa menguasai ilmu persuratan yang diminta itu.

Mulailah Sang Danaraja menggerilya bapaknya sendiri. Cara halus sambil mewek-mewek, sampai cara kasar mau bunuh diri segala. Nah, begini jadinya. Anak polah bapa kepradah. Anak bertingkah, ayahnyalah yang susah. Meskipun tahu itu larangan Dewa, tapi harus berbuat apa? Ada pikiran untuk mengajari sang anak dengan ilmu itu, biar anaknya sendiri yang jalan, tapi bukannya larangan itu akan dilanggar dua kali? Akhirnya dengan sikap apa boleh buat, demi kebahagiaan sang anak, berangkatlah Begawan Wisrawa ke Alengka, melamar Sukesi untuk anaknya, Sang Danaraja.

Prabu Sumali di Alengka, senang betul menerima Wisrawa yang kakak seperguruannya itu. Pikirnya pas betul kalau Sukesi mendapatkan jodoh seorang Danaraja. Percaya penuh akan keluhuran budi dan bersihnya hati sang kakak seperguruan, Sumali mengijinkan Sukesi untuk diajak Wisrawa ke tempat terpencil agar tidak ada orang lain yang mendengar uraian surat itu. Dan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itupun mulai kawedhar. Dhuaaaaar!!!!

Kahyangan, tempat Dewa bersemayam, ribut besar, gonjang-ganjing. Rahasia Dewa dibuka oleh anak manusia yang tak berhak menuturkannya!

Batara Guru, penguasa tunggal Kahyangan marah bukan main lalu mengutus Batara Kamajaya dan Batari Ratih, pasangan Dewa dan Dewi Cinta untuk turun ke dunia, menghukum Wisrawa dan Sukesi. Pasangan yang nerak angger-angger (melanggar aturan) itu.

Usai mendengar uraian surat itu, Batari Ratih menyusup masuk ke jiwa Sukesi. Pandangan Sukesi yang semula melihat Wisrawa sebagai sosok ayah dan guru, segera berubah menjadi sosok kekasih. Seketika Sukesi ambruk ke pangkuan Wisrawa menyerahkan dirinya. Wisrawa yang kuat iman dan tinggi pekertinya kukuh menolak penyerahan ini sambil mengingatkan Sukesi bahwa dirinya hanyalah sekedar utusan. Utusan seorang pria yang jauh lebih pantas daripada dirinya untuk jadi suami Sukesi.

Tapi Sukesi menyatakan bahwa sejak awal, dia hanya mau diperistri oleh seorang laki laki yang mampu menceritakan kepadanya rahasia surat itu. Tidak peduli dia utusan atau tidak. Dalam kondisi ini Batara Kamajaya menyusup masuk dalam jiwa Wisrawa dan membobol pertahanannya. Kemudian segala macam pertimbangan, baik, buruk, benar, salah semuanya menghilang. Yang ada hanya nafsu. Dua mahluk itupun tenggelam dalam jerat asmara penuh angkara (kalau dalam film Indonesia, adegan macam ini lantas dipotong dan diganti klip lautan yang menggelora).

Apa mau dikata, hubungan tak patut ini membuahkan keturunan. Sang jabang bayi lahir bersama bulan mati, hujan lebat, angin prahara dan petir bersahutan. Setan tertawa menandai lahirnya Raja Angkara di masa depan. Sang Dasamuka. Usai kelahiran Dasamuka, pasangan ini masih saja tenggelam dalam nafsu, dan berturut-turut lahirlah buah nafsu itu, Kumbakarna kedua dan Sarpakenaka ketiga. Tiga bayi berwujud raksasa dari pasangan manusia biasa. Setelah kelahiran Sarpakenaka, Batara Kamajaya dan Batari Ratih menganggap hukuman telah cukup, dan mereka segera keluar dari jiwa sepasang manusia itu.

Wisrawa dan Sukesi segera sadar dari jeratan nafsu yang membelit mereka. Penyesalan yang lahir praktis tidak ada gunanya. Mereka turun dari pengasingan dan menghadap Sumali yang apa boleh buat, akhirnya merestui hubungan itu dan menikahkan mereka. Mereka bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosa mereka. Setelah pertobatan dan restu ayahanda, pasangan ini melahirkan anak keempat berwujud manusia berwajah cakap. Sang Wibisana, yang kelak selalu mengingatkan kakak-kakaknya ketika bertindak salah.

Apa reaksi anak Wisrawa, Sang Danaraja? Wancinipun meh ndungkap raina, sanghyang Aruna katingal abrit ing bangwetan, ocehing peksi ing wit kanigara kados suwanten pangrengiking kidungipun tiyang nandhang branta. Pindha ungeling sulingipun tiyang, cekikering ayam wana ing pagagan, peksi merak nyengungong undang-undang, kombang mangrurah sekar ing kamar pasarean wangi. Uuuuunnnggggg.....

Jadi, pesan moral yang tersirat kuat dalam kisah di atas adalah, manakala sudah berani menentukan pilihan hidup atau profesi haruslah setia dengan sumpah atau ikrar yang diucapkan. Jangan seperti Resi Wisarwa. Sudah mengikrarkan diri menjadi pendeta atau brahmana atau pun ulama misalnya, namun demi kepentingan sesaat yang bersifat pribadi dengan sengaja melakukan tindak perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan norma yang dianutnya.

Orang tua mencintai anak adalah hal wajar, namun sebaiknya jangan berlebihan. Apalagi memanjakannya dengan setiap kemauannya dituruti. Resi Wisrawa mengalami nasib buruk karena terlampau ingin memenuhi kehendak Prabu Danapati yang tidak dapat diwujudkan oleh sang anak sendiri.


Kemudian, hubungan seks itu sebaiknya tidak melulu didasarkan atas nafsu semata. Di sana terkandung satu tujuan, titipan dari Sang Maha Pencipta, untuk melestarikan spesies kita, umat manusia. Doa, harapan dan kondisi mental yang kuat dari sang Calon Ayah dan Sang Calon Ibu yang mengiringi pembuahan sel telur oleh sperma akan membantu Sang Maha Pencipta meniupkan ruh yang baik kepada Sang Penerus. Kalau hanya nafsu yang dikedepankan, Dasamuka lah wujudnya.  Nafsu akan membuahkan Angkara. Bijak dan masih relevan dengan kekinian toh?  


1 komentar: