Nama perjalanan
diambil dari gambaran air yang mengalir mulai dari sumbernya melalui sungai
sampai akhirnya ke lautan. Sepanjang perjalanan, air telah memberikan unsure
yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia.
Gambaran ini sebagai ibarat perjalanan manusia sebagai indivudu agar
senantiasa berdarma bakti dan berbuat baik kepada sesama untuk mencapai
kesejahteraan bersama.
Jadi aliran kebatinan
Perjalanan mempunyai pedoman hidup sejarah diri dan dalam kehidupan bernegara
yang harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dan tidak boleh menyimpang dari
dua dasar tersebut dan aliran kebatinan Perjalanan tidak mempunyai kitab seperti
aliran kebatinan lainnya, misalnya kebatinan Pangestu memakai kitab Sasangko
Jati, dan Sapto Darmo menggunakan Kitab Cendro. Aliran Kebatinan
"Perjalanan" meyakini bahwa setiap manusia adalah kitab yang ditulis
oleh Tuhan.
Aliran perjalanan
didirikan pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta Kabupaten Subang oleh Mei
Kartawinata bersama dua orang temannya, M. Rasyid dan Sumitra. Aliran ini
mempunyai nama lain, yaitu :
a.
Aliran Kuring, sebelum kemerdekaan. Mei Kartawinata ketika menerangkan
ajarannya di mana-mana selalu menyebut “ inilah Agama Kuring” (artinya agama
saya), maksudnya “agama asli Sunda”.
b.
“Permai” (perikemanusiaan), sesudah kemerdekaan. Pada tanggal 7 November
1948, Mei Kartawinata diangkat sebagai Bapak Rohani.
c.
“Agama Yakin pancasila” juga disebut “Agama Sunda”, disebut lagi
“Perjalanan” di Bandung
d.
“Agama Petrap” juga disebut “Traju Trisna”, disebut lagi “Ilmu
sejati” dan “Jawa Jawi Mulya”. Di Tulungagung.
e.
“Aliran Perjalanan”, yang terakhir.
Mei Kartawinata lahir
pada tanggal 1 Mei 1987 di kebon Jati Bandung. Pendidikannya Sekolah Rakyat
atau HIS (Hollands Inlands School) di zaman pemerintahan Belanda. Ketika masih
remaja ia tinggal bersama kakak iparnya di kediaman Sultan Kanoman Cirebon. Ia
banyak mengetahui ajaran kebatinan di kalangan keluarga keraton Cirebon,
seperti Ilmu Sejati.
Di Cirebon ia berhubungan erat dengan Mohammad Ishak yang
sering disebut Kiai Sambelun karena mengjarkan ilmu yang disebut ilmu sambelun.
Mei Kartawinata kembali ke Subang dan mendirikan aliran Perjlanan pada tahun
1927. Jika di Cirebon ia dicurigai membantu Belanda, sebaliknya di Subang ia
memimpin perjuangan melawan Belanda dengan menggunakan aliran Perjalanan
sebagai sarana.
Mohammad Ishak lahir
pada tahun 1890 di desa Bodeh Plumbon Kabupaten Cirebon. Ia pernah belajar
tarekat Nadhatul Arifin, yaitu tarekat yang memberikan tuntunan kepada
seseorang ingin mencapai makrifat billah atau arifin billah, mengetahui Allah
dengan sebenar-benarnya. Untuk mencapai makrifat billah, seseorang harus
mengetahui rahasia alif, lam, mim yaitu Allah-Mohammad-Adam, sempurnanya harus
mengetahui pula Alquran dan Hadis. Akan tetapi bukan Alguran dan Hadis dalam
bentuk tulisan Arab yang ditulis diatas kertas, melainkan tulisan yang sejati.
Demikianlah yang disebut ilmu sambelun.
Di samping memimpin
aliran perjalanan, Mei Kartawinata dalam kehidupan sehari-hari juga dikenal
memiliki kemampuan mengobati orang sakit secara tradisional tanpa memungut
bayaran. Melalui sarana inilah ia menyampaikan ajarannya kepada orang lain. Mei
Kartawianata meninggal dunia pada tahun 1967 di Jalan Cikutra Cidadas Bandung.
Mengenai dua orang
teman Mei Kartawinata, yakni M. Rasyid dan Sumitra, riwayat hidup mereka tidak
banyak diketahui. Pada Tahun 1926 M, M. Rasyid dan Sumitra datang ke Subang
untuk bekerja di percetkan tempat Mei Kartawinata bekerja. Akhirnya ketiga
orang ini menjadi kawan akrab. M. Rasyid dan Sumitra, sama-sama memiliki ilmu
kanuragan atau kesaktian. Berbeda dengan mereka, Mei Kartawinata tidak menyukai
ilmu kanuragan. Yang penting bagi Mei Kartawinata adalah hidup damai dan saling
menghormati antara sesama. Ia selalu peduli terhadap orang lain. Karena ia
mempuyai kemampuan pengobatan alternatif, bila ada orang sakit ia berusaha
mengobatinya.
Aliran perjalanan yang
merupakan kepercayaan asli orang Sunda ini disebarkan oleh Mei Kartawinata
dengan memanfaatkan kemampuannya mengobati orang sakit secara tradisional tanpa
memungut biaya. Oleh karena itu masyarakat banyak yang simpati dan mengikuti
aliran tersebut.
Di Subang Mei
Kartawinata memimpin perjuangan melawan Belanda dengan menggunakan aliran
Perjalanan sebagai sarana. Dari situlah masyarakat mulai mengikuti aliran
Perjalanan.
Ajaran aliran Perjalanan berdasarkan pada wangsit yang diterima oleh Mei Kartawinta. Ia menerima wangsit itu berkali-kali sampai ada sepuluh kali yang disebut Dasa Wasita seperti berikut :
Wangsit pertama :
“Janganlah dirimu
dihina dan direndahkan oleh siapa pun, sebab dirimu tidak lahir dan tidak besar
oleh sendirinya, tetapi dirimu dilahirkan dan dibesarkan penuh dengan cinta
kasih ibu dan bapakmu. Bahkan dirimu itu sendirilah yang melaksanakan segala
kehendak dan cita-citamu yang seyogyanya kamu berterima kasih kepadanya.”
Wangsit kedua :
“Brang siapa menghina
dan merendahakan dirimu, sama juga artinya dengan menghina dan merendahkan ibu
bapakmu bahkan leluhur bangsamu.”
Wangsit ketiga :
“Tiada lagi kekuatan
dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, Belas
dan Kasih. Sifat belas dan kasih itu pun dapat mengatasi dan menyelesaikan
segala pertentangan atau pertengkaran, bahkan dapat memadukan paham dan usaha
untuk mencapai tujuan yang lebih maju serta menyempurnakan akhlak dan
meluhurkan budi pekerti manusia.”
Wangsit keempat :
“Dengan kagum dan
takjub kamu menghitung tetesan air yang mengalir yang menuju kesatuan mutlak,
yaitu lautan sambil memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, binatang, dna
pepohonan atau tetumbuhan. Akan tetapi kamu belum pernah mengagumi dan takjub kepada
dirimu sendiri yang telah mempertemukan kamu dengan dunia beserta segala
isinya. Bahkan kamu belum pernah menghitung kedip matamu. Sungguh betapa
nikmatnya apa yang kamu rasakan, padahal semua itu sebagai hikmah dari Tuhan
Yang Maha Esa.”
Wangsit kelima :
“K man pun kamu perghi
dan di mana pun kamu berada Tuhan Yang Maha Esa akan selalu bersama denganmu.”
Wangsit keenam :
“Perubahan besar alam
kehidupan manusia akan menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta
mencetuskan ataumelahirkan kemerdekaan hidup bangsa.”
Wangsit ketujuh :
“Apabila pengetahuan
disertai kekuatan raga dan jiwamu digunakan secara salah untuk memuaskan hawa
nafsu, akan menimbulkan dendam kesumat, kebencian, pembalasan, dan perlawanan.
Sebaliknya apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu digunakan untuk
menolong sesama akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang
mendalam.”
Wangsit kedelapan :
“Cintailah sesama
hidupmu tanpa memandang jenis dan rupa, sebab apabila telah meninggalkan jasad,
siapa pun akan berada dalam keaaan yang sama. Ia tidak mempunyai daya dan
upaya. Justru selama itu, selama kamu masih hidup, berusahalah agar kamu dapat
memelihara kelangsungan hidup sesama sesuai dengan kodrat-Nya menurut kehendak
Tuhan Yang Maha Esa.”
Wangsit kesembilan :
“Batu di tengah
sungai, jikalau olehmu digarap menurut kebutuhan, kamu menjadi kaya karenanya.
Dalam hal itu yang membuat seseorang kaya raya bukanlah pemberian batu itu,
tetapi yang membuat kaya raya adalah hasil kerjamu sendiri.”
Wangsit kesepuluh :
“Geraklah untuk
kepentingan sesamamu, bantulah yang sakit untuk mengurangi penderitaannya.
Kemudian hari akan tercapailah masyarakat kemanusiaan yang menggerakkan
kemerdekaan dan kebenaran” (Rozak, 2002:178-185).
Dasa Wasita (kesepuluh
wangsit) tersebut di atas, bila diringkas intinya adalah sebagai berikut :
1.
Antara sesama dilarang saling menghina.
2.
Menghina kepada seseorang hakikatnya juga menghina kepada ayah dan ibunya
bahkan nenek moyangnya.
3.
Tidak ada yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, kecuali Tuhan Yang Maha
Esa, Yang Belas Kasih. Sifat belas dan kasih itu dapat menyempurnakan akhlak
dan meluhurkan budi pekerti.
4.
Air yang senantiasa menghidupi tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia,
mengandung hikmah agar manusia sebagai individu selalu berbuat baik kepada
sesama.
5.
Tuhan Yang Maha Esa selalu berada dekat dengan manusia.
6.
Dinamika hidup dan kehidupan manusia akan membawa kebebasan dari
penindasan.
7.
Pemuasan hawa nafsu akan membawa kekacauan dan kehancuran.
8.
Antara sesama harus saling cinta-mencintai agar terpelihara kehidupan
bersama.
9.
Kekayaan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja
keras.
10.
Antara sesama harus saling tolong-menolong terutama dalam menegakkan
kebenaran.
Bila disimak
secara seksama, sepuluh butir Dasa Wasita tersebut di atas, semuanya berisi
ajaran moral sebagai pedoman hidup manusia dalam hidup bersama, khususnya
anggota atau warga aliran Perjalanan.
Setelah wangsit itu diterima, maka didirikan aliran Perjalanan.
Nama perjalanan tampaknya diambil dari gambaran air yang mengalir mulai dari
sumbernya melalui sungai sampai akhirnya ke lautan. Sepanjang perjalanan, air
telah memberikan unsur yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan,
binatang, dan manusia. Gambaran perjalanan air ini sebagai ibarat perjalanan
kehidupan manusia sebagai individu agar senantiasa berdarma bakti dan berbuat
baik kepada sesama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Konsep ini juga
dipandang selaras dengan konsep Pancasila yang mengandung makna sosial
religius. Karenanya aliran Perjalanan juga dipandang mempunyai peranan dalam
kehidupan negara yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan konsep ini pulalah
agaknya, aliran ini disebut “Agama Yakin Pancasila”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar