Diblantika kebatinan
Jawa, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa
menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk
“halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri.
Barangkali sebagian dari kita ada yang tanpa sengaja pernah
menyaksikan atau bahkan berdialog, atau pun sekedar melihat diri sendiri tampak
menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Tanpa maksud menggurui, sejatinya
itulah Guru Sejati kita. Atau bagi yang dapat Ngrogo Sukmo, maka akan melihat
kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri.
Wujud kembaran
(berbeda dengan konsep sedulur kembar) itulah entitas Guru Sejati. Karena Guru
Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar
adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru
Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru
Sejati, tidak harus pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan
berupa sinyal dan getaran melalui hati nurani. Maka kemudian kita dapat
mencermati suara hati nurani diri sendiri untuk memperoleh petunjuk penting
bagi permasalahan yang kita hadapi.
Namun permasalahannya,
jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang
kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa)ataukah
kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru
Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping
rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak
lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita
bertemu dengan Guru Sejati adalah dengan laku prihatin; yakni selalumengolah
rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan
hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang
dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang
yang terpilih dan pinilih.
Selanjutnya adalah
kosepsi Sedulur Papat Keblat, lima Pancer atau Keblat
Papat, Lima Pancer. Konsepsi ini di lain sisi sering diartikan juga sebagai
kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia, sedulur papat sebagai
perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan
di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau
air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh
plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya
darah dan daging. Makasedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai
kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur
kembarnya.
Jika keempat unsur
disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur
kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa;
dalam pandangan Kejawen doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus
melibatkan semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu
pekerjaan dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau
artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan atau usaha.
Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat
maupun ringan diawali dengan mengucaap “kakang kawah adi ari-ari, kadhangku
kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku
papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….”
Guru Sejati yakni
rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan
dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita
mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisiksedulur
papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan
sampai tunduk oleh hawa nafsu.
Bersamaan menyatukan
kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat
alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin,
lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang
Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat
menguasai hawa nafsu negatif; nafsulauwamah (nafsu serakah; makan,
minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka),supiyah (mengejar
kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al
mutmainah).
Sehingga jasad dan
nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan
frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma
kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci,
yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang
Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa
disebut Manunggaling kawula-Gusti.
Tradisi Jawa
mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘Manunggaling
Kawula-Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan
Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing
curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk
kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo
manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya
Manunggaling Kawula-Gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual
mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di
dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai
tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah,
supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen
mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam“bulan
suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan,
membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan
hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi.
Pencapaian hidup
manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah
berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan
kehendak-Nya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna
kodratullah. Yakni substansi dari Manunggaling Kawula-Gusti sebagai
ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh
Siti Jenar. Manunggling Kawula-Gusti = bersatunya Dzat
Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke
dalam Guru Sejati, sukma sejati.
Keberhasilan mengolah
Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari
basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad.
Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan
duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau
bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka
seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa
nafsu.
Kebaikan yang
dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming
pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaranmakrokosmos dan mikrokosmos akan
kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai
seteru-Nya, tetapi sebagai “sekutu-Nya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang
Ilahiah.
Kesadaran spiritual
bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi
sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran
demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan
menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni”
(ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita
Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran
tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat
menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita.
Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan
nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai
“mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru
Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah,
kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni
ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan
melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh
pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian
itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang
akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati
nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di
masa silam nenek moyang kita, para leluhur Bumi Nusantara yang memperoleh
kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa;
suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima
oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai
peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu
eling-waspada dan melakukan langkah antisipasi.
Ada satu pertanyaan
yang paling mendasar, pentingkah Guru Sejati dalam kehidupan kita? Jika
jawabannya ada merujuk pada narasi yang di atas, peran Guru Sejati sangatlah
penting dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita
berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus
selalu eling dan waspada, sebab setiap saat kemungkinan terburuk
dapat menimpa siapa saja yang lengah.
Guru Sejati akan
selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita.
Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana
jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau
energi kebaikan dari pancaran cahaya Ilahi, maka Guru Sejati memiliki
kewaskitaan luar biasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan
memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya
Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya
tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan,
malapetaka, atau musibah.

Setelah Islam masuk ke
Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur
papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia
yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah(kenikmatan/birahi/psikologis),
dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima
yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai
pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi
antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu
jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh
wayang: Lauwamah = Dosomuko, Amarah =
Kumbokarno, Supiyah = Sarpo Kenoko, Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar