Berdasarkan tutur dan riwayat para Wali Songo, diceritakan bahwa
Kanjeng Sunan Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Bahkan dikatakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di negeri Cheermen. Mengenai letak
negeri Cheermen itu terletak di Hindustan, sedangkan ahli sejarah yang lain
mengatakan bahwa letaknya Cheermen adalah di Indonesia.
Adapun mengenai nama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta
dimana, dalam hal ini belum diketahui dengan pasti. ada yang mengatakan bahwa
beliau berasal dari Kasyan (Persia). Bilamana beliau meninggal dunia ? Kalau
ditilik dari batu nisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di
Gresik, dekat Surabaya terukir sebagai tahun meninggalnya 882 H, atau tahun
1419 M.
Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa
didaerah Jawa Timur. Dari sanalah dia memulai menyingsingkan lengan bajunya,
berjuang untuk mengembangkan agama Islam.Adapun caranya pertama-tama ialah dengan jalam mendekati pergaulan dengan
anak negeri. Dengan budi
bahasa yang ramah tamah serta ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan
oleh Islam, hal itu senantiasa diperlihatkannya didalam pergaulan sehari-hari.
Beliau tidak menentang secara tajam kepada
agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak
menentang secara spontan terhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam
masyarakat kita yang masih memeluk agama Hindu dan Buddha itu, melainkan beliau
hanya memperlihatkan kaindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang
dibawa oleh Islam. Berkat keramah tamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya
yang sopan santun itulah, banyak anak negeri yang tertarik masuk ke dalam agama
Islam.
2.Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Sunan Ampel pada masa kecilnya menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah
Sunan Kudus, bernama Raden Rahmat, lahir pada tahun 1401 di Champa. Nama
Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di
daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (
kota Wonokromo sekarang)
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Raden Rahmat adalah putra Maulana
Malik Ibrahim. Menurut beberapa riwayat, nama Maulana Malik Ibrahim juga
dikenal sebagai Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja
di sana. Ibrahim Asmarakandi.
Sunan Ampel memiliki silsilah hingga sampai ke Nabi Muhammad SAW, yaitu
:
* Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin * Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin * Syaikh Jumadil
Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin * Ahmad Jalaludin Khan bin* Abdullah Khan bin
* Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin * Alawi Ammil Faqih
(Hadhramaut) bin * Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) * Ali Kholi'
Qosam bin * Alawi Ats-Tsani bin * Muhammad Sohibus Saumi'ah bin *
Alawi Awwal bin * Ubaidullah bin * Ahmad al-Muhajir bin * Isa
Ar-Rumi bin * Muhammad An-Naqib bin * Ali Uraidhi bin *
Ja'far ash-Shadiq bin * Muhammad al-Baqir bin * Ali Zainal Abidin bin *
Imam Husain bin * Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah
ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad
al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sunan Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo
lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”. Dan
sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo, Masjid Agung
Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru
kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak
dan finish di Cirebon.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, Surabaya.
3.Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Beliau adalah putera dari Sunan Ampel dalam perkawinannya dengan Nyai
Ageng Manila, seorang putera dari Arya Teja, salam seorang Tumenggung dari
kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. menurut dugaan Sunan Bonang
dilahirkan dalam tahun 1465 M, serta wafat pada tahun 1525 M.
Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali
menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan
sekitarnya. sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok
pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam
yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah
yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari
nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan
nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati
hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya
sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967),
Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok,
Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng
dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh
Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf
dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het
Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda,
kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris
yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak
cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama
Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin
menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya.
Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi
karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang
menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat
menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Tamba Ati
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
4.Raden Qasim (Sunan Drajat)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah
ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun
berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian,
cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk
petuah “berilah tongkat pada si
buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong.
Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.
Jadi bilamana Sunan Drajat memberi contoh
serta menganjurkan kepada rakyat, agar memiliki jiwa sosial serta menganjurkan
agar supaya rakyat suka menolong para fakir dan miskin yang sedang mengalami
penderitaan dan kesempitan, maka hal itu adalah sesuai dengan tuntunan agama.
5.Jaffar Shadiq (Sunan Kudus)
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari
pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro, dan
Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi
Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan
Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di
Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk
datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus
yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid
yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan,
Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih
bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota
Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya
kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul
Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban
sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini
masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
6.Raden Paku/Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Kemudian bersama-sama dengan Maulana Makdum Ibrahim, Raden Paku oleh
Sunan Ampel di suruh pergi haji ke Tanah Suci, sampai memperdalam ilmunya.
Tetapi mereka sebelum sampai di tanah suci singgah terlebihdahulu di Pasai
(Aceh), untuk menuntut ilmu kepada para ulama disana.
Adapun yang imaksud ilmu di sini, adalah ilmu ke Tuhanan menurut ajaran tasawuf. Konon kabarnya
memang banyak ulama-ulama keturunan India dan Persia yang membuka pengajian di
pasai di waktu itu. Bahkan banyak pula ulama-ulama dari Malaka juga
kadang-kadang datang bertanya tentang sesuatu masalah ke Pasai. Sesudah kedua
tunas muda itu selesai menuntut pelajaran di sana, merekapun kembalilah ke
tanah Jawa. Raden Paku berhasil mendapat "Ilmu Laduni", sehingga
gurunya di pasai memberinya nama "Ainul Yaqin".
Raden Paku sekembalinya di tanah Jawa mengajarkan agama Islam menurut
bakatnya. Raden paku atau Syekh Ainul Yaqin mengadakan tempat berkumpul yang
boleh disebut pondok pesantrennya di Giri. dimana murid-muridnya terdiri pada
orang-orang kecil (rakyat jelata).
Diantara permainan kanak-kanak hasil ciptaan/gubahannya adalah rupa
"jitungan" atau "jelungan".
Adapun caranya adalah begini :
Anak-anak banyak, satu diantaranya menjadi "pemburu",
lain-lainnya jadi "buruan" mereka ini akan 'selamat' atau 'bebas'
dari terkaman 'pemburunya', apabila telah berpegangan pada 'jitungan', yaitu
satu pohon, tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Permainan dimaksudkan untuk mendidik
pengertian tentang keselamatan hidup, yaitu : bahwa apabila sudah
berpegangan kepada agama yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa sajalah,
maka manusia (buruan) itu akan selamat dari terkaman iblis (pemburunya). Di
samping itu diajarkannya pula nyanyian-nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat
paedagogis serta berjiwa agama, Di antaranya adalah berupa 'tembung dolanan
bocah' (lagu permainan anak-anak), yang berbunyi sebagai berikut :
"Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar,
ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog hangatikar", yang dalam bahasa
indonesianya kira-kira begini :
"Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman,
mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari
terbirit-birit".
Adapun maksud dari tembang tersebut di atas itu adalah : Agama Islam (bulan) telah datang memberi
penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut penghidupan
(dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu
agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar sesat kebodohan
diri (begog, gelap) segera terusir.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam.
Sesudah beliau wafat, kemudian dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik).
Setelah Sunan Giri meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh Sunan Delem,
Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.
7.Raden Said (Sunan Kalijogo)
Raden.Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan
Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula
yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur
Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan
Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera,
masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam
lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit)
seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam
lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak)
diberi motif "burung" di dalam beraneka macam. sebagai gambar
ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih
indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam
bahasa kawi, burung itu disebut "kukila" dan kata bahasa kawi ini
jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : "quu" dan
"qilla" atau "quuqiila", yang artinya "peliharalah
ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau
burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita,
agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam
hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang
diberinya nama baju "takwo", nama tersebut berasal berasal dari kata
bahasa arab "taqwa" yang artinya ta'at serta berbakti kepada Allah
SWT.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis
dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan
Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak
8.Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat,
dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang
menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung.
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut
adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik
internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya
pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu
hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung
Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa
Tengah tempat dia dimakamkan.
9.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir
sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada
sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar
di Jawa bernama Wali Songo.
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’
Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat
Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan
Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu
Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar