Tapi apakah hanya itu pengertiannya? Nah, beberapa
waktu lalu, acara Kelas Sabtuan, bertajuk “Sabtu Nguri-Uri” yang digelar di
Kedai dan Rumah Belajar Béto, Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16,
Jakarta Selatan, mengangkat pertanyaan yang sama, yaitu “Apa itu Jawa?”,
sebagai tema.
Di kelas belajar Budaya Jawa ini pertanyaan
“Apa Itu Jawa” berusaha dijawab dengan melihat dari sudut pandang Etimologi,
yang meliputi Kebahasaan, Semiotik, dan Kesejarahan.
Menurut Donny Satryowibowo atau biasa
dipanggil Rommo Donny, yang menjadi pembicara, secara umum kata Jawa memang
mengacu pada nama-nama seperti suku, bahasa, budaya, pulau, dan termasuk pula
paham.
“Sebenarnya luas sekali. Jawa itu adalah
pemahaman menjalani hidup seperti ilmu padi… Yaitu mencoba memahami sesuatu
secara keseluruhan, secara kesejatian. Padi itu apa, bermanfaat, dan
berbahagia. Jadi dia berbahagia ketika dirinya bermanfaat, terus merunduk dan
lain-lain. Memang panjang,” terang Romo Donny yang juga kadang menggunakan nama
Donny S Ranoewidjojo.
Kata Jawa sendiri, menurut Romo Donny,
memiliki kaitan erat dengan padi-padian. Beberapa kamus bahasa kuna menyebutkan
kata jawa, jawi, jejawi, jawi-jawi, jawai, dan jawawut, yang kesemuanya merujuk
pada bentuk padi-padian. Jawi-jawi, misalnya, disebutkan berupa batu-batu mulia
kecil seperti biji padi, yang diuntai menjadi perhiasan.
“Jadi
memang arahnya ke sana kalau di kamus bahasa kuna, bahasa Jawa Kuna yang kita
jumpai. Arahnya ke padi, walaupun tidak leterlek ada Jawa
adalah padi, tidak. Karena Jawa sudah menjadi luas sekali, tidak hanya bisa
disebut keluarga padi-padian. Kan gitu,” kata Romo Donny yang
merupakan Pengasuh Seni dan Budaya UI, serta Sejarah Budaya IKJ.
Dan, Jawa sebagai Tanah Padi, secara harafiah,
bisa dimaknai sebagai pulau subur yang dikepung oleh lautan, dialiri
sungai-sungai, dan dipasaki oleh gunung-gunung sebagai paku, pusat kesuburan
dan kehidupan beraneka ragam hayati.
Selain itu, padi secara simbolis memiliki
makna yang sangat dalam. Seperti pengertian “Ilmu Padi”, yaitu semakin berisi
semakin merunduk. Padi saat muda berwarna hijau, dan kemudian menua dengan
warna kuning keemasan. Saat itu, ia akan menunduk luruh menghadap bumi seperti
wajah orang bersujud.
“Setelah berisi dengan segala berkah dan
kemanfaatan, sang Padi sadar untuk merunduk ke bawah dengan segala
kebijaksanaan hukum alam, sangat berbeda dengan saat ia masih hijau mendongak
menantang langit dengan gagah dan bangganya,” ujar Romo Donny yang merupakan
Koord Divisi Sastra, Folklor, Permainan Dedaktik di Lesbumi (Lembaga Seni
Budaya Muslimin Indonesia) PBNU.

Menurut Romo Donny, perkataan itu adalan unen–unen Jawa
atau semacam folklor, yang tidak diketahui siapa yang menciptakan. Lengkapnya
berbunyi, “Wong Cino ilang pitunge, ilang cinane. Wong Londo ilang
megahe, ilang landane. Wong Jowo ilang tapane, ilang jawane.”
“Jadi yang hilang itu tapane. Tapa itu
merenung, mencari rasa ini, mencari makna. Ketika orang Jawa tidak maungonceki (mengupas)
semiotik (ilmu tanda), tidak mau ngonceki simbol. Tapa itu
kan meneng di sudut-sudut,leren… tapa itu leren sedela,
ngrungokke, ngonceki. Nah ketika ilang itu, ilang Jawane,”
kata Romo Donny.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar