Senin, 26 Maret 2018

Filosofi Kehidupan Dari Bangsal-Bangsal Keraton Surakarta Hadiningrat

Ada pepatah “Wong Jowo nggone semu.” Orang Jawa ahlinya perlambangBegitu ungkapan yang konon pas untuk menggambarkan citra manusia Jawa. Yang tidak suka mengungkapkan sesuatu secara gamblang, melainkan membalutnya dengan menggunakan pasemon, atau sebuah perlambang. Terutama tentang ajaran kehidupan.

Dan itu pula yang  saya dapatkan dari bangunan yang ada pada keraton Solo. Ketika menikmati keindahan bangunan Bangsal dan Bale yang ada di kawasan Sitinggil.
Kalau kita berjalan meninggalkan Pagelaran ke arah selatan, maka akan menemukan bangunan yang bernama Sitinggil atau Sitihinggil itu.

Bangunan yang secara harfiah berarti tanah yang ditinggikan. Karena dalam bahasa Jawa, siti berarti tanah dan hinggil adalah tinggi. Maka kita temui sekarang, bangunan Sitinggil benar-benar merupakan tempat yang lebih tinggi dibanding bangunan yang lain di sekitarnya. Bahkan  lingkungan ini pun dikelilingi oleh tembok tebal yang tinggi pula.

Dan konon makna dari bangunan Sitinggil merupakan perlambang berkembangnya kedewasaan manusia. Maka untuk menjabarkan ajaran itu, jalan dari Pagelaran menuju Sitinggil pun dibuat mendaki. Merupakan gambaran naiknya tingkat kejiwaan kita.

Jalan berundak ini bernama Kori Mijil, yang berarti pintu keluar. Dalam bahasa Jawa kori adalah pintu, dan mijil adalah keluar. Sebuah ajaran untuk mengingatkan kita, bahwa cermin kedewasaan jiwa adalah kemampuannya menjaga ucapan. Hingga dalam bertutur kata hendaknya apa yang keluar dari mulut kita hanyalah kebenaran dan kejujuran saja.

Kawasan Sitinggil lengkapnya bernama Sitinggil Binata Wrata. Bangunan yang didirikan Paku Buwono III pada tahun 1774 dengan candrasengkala ‘Siti Inggil Palenggahaning Ratu’. Sebuah kode hitungan tahun matahari yang secara kata berarti ‘tanah yang ditinggikan sebagai tempat bertakthanya raja’.

Selepas menapaki jalan berundak Kori Mijil, bangunan paling depan kawasan Sitinggil bernama Bangsal Sewayana. Yang pada jaman dulu merupakan tempat para pejabat menghadap raja. Juga merupakan aula untuk melaksanakan upacara kebesaran kerajaan.
Berada di tengah-tengah Bangsal Sewayana, terdapat bangunan bernama Bale Manguntur Tangkil. Inilah tempat singgasana raja bertakhta. Konon di bawahnya tertanam batu andesit yang merupakan takhta kebesaran Prabu Suryawisesa, sang Raja Jenggala.

Manguntur Tangkil berasal dari kata manguntur dan tangkil. Manguntur bermula dari kata mangun tutur, yang berarti membuat kata-kata indah atau memberikan sebuah ucapan rayuan. Sedangkan tangkil berarti tampil ke depan. Jadi secara harfiah, manguntur tangkil berarti memulai dengan kata-kata rayuan yang penuh keindahan.

Sebagai pribadi yang telah dewasa, merupakan saat yang diwajibkan untuk bisa mengolah asmara dalam sebuah pernikahan yang sakral. Karena dengan itu, kedua pribadi dewasa akan melahirkan keturunan bagi kelangsungan hidup mereka.

Hingga bisa dikatakan, kawasan Sitinggil merupakan bangunan yang maknanya mengajarkan kedewasaan. Dan Bale Manguntur Tangkil merupakan perlambang menuju ke arah itu. Karena setelah dewasa dan menikah, maka kehidupan rumah tangga sebagai suami istri pun dimulai. Merupakan saat bertemunya laki-laki dan perempuan yang tengah dianugerahi nikmat asmara.

Maka manguntur tangkil atau menampilkan rayuan adalah ajaran untuk saling mengungkapkan rasa cinta. Sebuah tuntunan membangkitkan asmara agar jiwa bersatu dalam membentuk generasi baru. Yang proses ‘ibadah terindah’ itu akan terasa lebih indah apabila didahului dengan saling menampilkan kata-kata indah atau cumbu rayu.
Berada di belakang Bangsal Manguntur Tangkil, sebuah bangunan bernama Bangsal Witana. Dahulu merupakan tempat berkumpulnya para abdi dalem yang membawa perangkat upacara kebesaran kerajaan.

Witana berasal dari kata ‘wiwitane ana’ yang berarti awal mula kehadiran manusia. Sebuah perlambang tentang permulaan kehidupan, yang dimulai dari tersedianya ‘benih’ dan ‘rahim’. Sebuah makna dari bertemunya benih dari perempuan untuk dibuahi oleh laki-laki. Yang proses itu menjadi wiwitane ana, atau awal hadirnya keturunan kita.


Melangkah lagi ke depan, terdapat sebuah bangunan bernama Bangsal Manguneng. Letaknya tepat berada di tengah-tengan Bangsal Witana dan Bangsal Sewayana.
Secara harfiah manguneng berarti mengheningkan cipta. Karena manguneng berasal dari kata mangun yang artinya membangun dan meneng yang berarti diam. Maka Bangsal Manguneng merupakan perlambang agar pribadi yang dewasa dalam membentuk keturunan baru, harus melalui proses mengheningkan cipta. Yakni untuk selalu meniatkan dan mendekatkan diri pada Tuhan, dengan makin memperbanyak doa.

Dari Bangsal Manguneng, kalau kita menoleh ke timur, akan bertemu dengan Bangsal Angun-angun. Kata angun-angun mempunyai arti sesuatu yang masih samar atau masih dibayangkan. Bangunan yang menjadi perlambang, bahwa membentuk keturunan baru adalah sebuah rencana yang  masih berada dalam harapan. Karena itulah, harus semakin giat mendekatkan diri pada Tuhan, bahkan memerlukan penguat iman.

Maka di barat Bangsal Sewayana, kita akan dapati sebuah bangunan bernama Bangsal Bale Bang. Bale Bang berasal dari kata nggebang yang artinya menegakkan. Sebuah ajaran untuk selalu menegakkan atau memperkuat keimanan. Harus mempertebal iman dalam membentuk pribadi yang masih diangankan sebagai keturunan kita.

Kemudian, berada di sebelah selatan Bangsal Witana kita dapati sebuah tembok tinggi memanjang bernama Kori Renteng. Sebuah tembok penghalang yang jika dilihat dari arah selatan, seluruh bangunan yang berada di Sitinggil tidak bisa kelihatan.
Karena Kori Renteng artinya pintu penutup. Sebuah bangunan yang merupakan kiasan dari usaha untuk selalu menutup atau menjaga rahasia keluarga. Bahwa sesuatu yang ada dalam rumah tangga kita, orang lain tidak selayaknya ikut mengetahuinya.

Cukup suami istri saja yang tahu apa cela dan kekurangan masing-masing. Karena bukan pribadi yang dewasa, ketika seorang suami masih suka mengeluhkan kekurangan istrinya. Dan bukan istri yang dewasa, ketika sangat gemar membeberkan kekurangan suaminya.

Maka Kori Renteng yang merupakan pintu penghalang dari arah utara kawasan Sitinggil, sangat tepat untuk menjadi pembelajaran. Bahwa kebersamaan menjaga rahasia, menghormati dan menghargai perbedaan adalah sebuah cermin sikap jiwa yang dewasa. Yang juga merupakan sebuah jalan untuk menjadi sebuah keluarga bahagia.

Karena hanya dari keluarga bahagia itulah yang akan melahirkan generasi yang berguna bagi sesama. Yang dari pertama membangun keluarga, sudah dimulai dengan sebuah kejujuran dan keterbukaan. Bahkan ketika membentuk dan merencanakan keturunan pun selalu diikuti dengan doa dan sepenuh mengheningkan cipta. Dengan selalu mendekatkan diri pada Tuhan untuk semakin mempertebal iman.

Maka selepas dari Sitinggil, sebagai jalan ke luar ke arah selatan, kita akan melewati sebuah pintu besar bernama Kori Mangu. Sebuah pintu yang bermakna untuk membuang segala sikap keragu-raguan atau kebimbangan. Sebab kori dalam bahasa Jawa adalah pintu, dan mangu artinya ragu-ragu.

Suatu ajaran untuk mengingatkan kita, bahwa ciri kedewasaan jiwa juga hendaknya tidak mudah digelisahkan oleh keraguan. Juga tidak gampang bimbang untuk meneruskan langkah peningkatan jiwa selanjutnya, menuju kesempurnaan kehidupan.  



Menelisik Sekilas Tentang Astrologi Jawa

Secara umum, pengertian dari astrologi adalah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang. Umumnya, yang lebih kita kenal adalah ilmu astrologi yang berasal dari mitologi Yunani kuno. Ternyata, oran

g Jawa pun mempunyai seni ilmu meramal ini, yakni astrologi Jawa yang telah ada secara turun temurun dari nenek moyang kita. Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah mempunyai patokan perbintangan untuk mengamati Alam Semesta dan Kehidupan.

Tapi sayangnya, seperti yang terjadi pada tradisi warisan leluhur yang lain, ilmu astrologi Jawa ini perlahan namun pasti mulai menghilang dalam kehidupan orang Jawa itu sendiri. Padahal Astrologi Jawa adalah hasil kajian dari nenek moyang kita sendiri, yang tentunya lebih sesuai bagi Alam Semesta di pulau Jawa atau Indonesia secara umum. Tidak perlu munafik untuk mengakui, kita sekarang lebih mengenal Ilmu Astrologi Barat atau Yunani kuno yang sering disebut Zodiak.

Astrologi Jawa berasal dari Horoskop Jawa Kuno, yang mengungkapkan rahasia Pranata Mangsa (sifat umum suatu masa). Pranata Mangsa terdiri dari 12 (dua belas) perputaran mangsa, seperti halnya dalam Astrologi Barat yang disebut Zodiak. Mangsa-mangsa itu adalah Mangsa “KASO, KARO, KATELU, KAPAT, KALIMA, KANEM, KAPITU, KAWOLU, KASANGKA, KASADASA, DESTA, dan SADDHA”. Setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki hari kelahiran, bulan kelahiran, dan tahun kelahiran. Dan dalam Astrologi Jawa nasib seseorang dapat diramal atau diketahui melalui hari lahir dan bulan kelahirannya.

Nasib seseorang yang dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa adalah seperti Keberuntungan, Kesehatan, Sifat khusus, Pekerjaan/Karier, Rejeki, Jodoh, hobi, Batu permata, serta Warna dan Bunga yang digemari. Bahkan keadaan fisik, masa kanak-kanak, masa remaja, ciri khas yang mencolok, hobi, dan hal yang lainnya juga dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa. Karena itulah ada istilah “weton” atau hari lahir yang dimiliki oleh setiap orang. Berdasarkan weton ini lah orang jawa akan meramal atau mengetahui bagaimana nasib atau sifat dari seseorang atau anak-anak mereka.

Sekarang ini kebanyakan orang menggunakan perhitungan weton hanya ketika akan menentukan jodoh atau juga hari baik untuk melaksanakan hajatan. Padahal dari weton itu sendiri kita dapat meramal atau mengetahui banyak hal lain yang berhubungan dengan diri seseorang. Atau juga mengetahui tentang hal baik dan buruk dari suatu mangsa. Sebagai contoh untuk menentukan waktu baik saat memulai masa tanam, menentukan jenis tanaman, dan hal lain yang berhubungan dengan pertanian. Dan juga untuk menentukan hari baik saat akan membuat atau memindah rumah. Dengan menggunakan Ilmu Astrologi Jawa tentunya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi menggunakan ilmu Astrologi Jawa. Bahkan sebagian orang sudah tidak mempercayai adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita ini. Mereka lebih memilih tren yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh banyaknya orang yang memilih tanggal 12 desember 2012 untuk melaksanakan pernikahan mereka. Karena mereka anggap tanggal, bulan dan tahun itu spesial karena keunikannya, yaitu angka 12-12-12.

Bahkan yang lebih mencengangkan adalah ketika para ibu hamil memilih anak mereka dilahirkan pada tanggal spesial itu dengan cara operasi cesar. Padahal anak tersebut belum waktunya untuk dilahirkan pada hari itu. Masyarakat sekarang lebih memilih sesuatu yang dianggap spesial dan bisa dibanggakan. Dan mereka tak lagi peduli dengan istilah perhitungan hari baik atau pun hari kelahiran. Padahal Ilmu Astrologi Jawa adalah hasil dari kajian nenek moyang kita yang tentunya tidak dihasilkan dengan cara asal-asalan.


Mungkin berbicara tentang Astrologi Jawa di jaman modern sekarang ini,yang semua hal dapat dilakukan dengan teknologi. Akan dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, bahkan dianggap sesat ketika dihubungkan dengan Tuhan atau pun agama tertentu. Tapi biar bagaimana pun juga Astrologi Jawa adalah sebuah warisan budaya yang merupakan hasil kajian nenek moyang kita. Yang tentunya harus tetap kita jaga keberadaannya. Adat dan Budaya adalah merupakan salah satu ciri khas dari orang desa. Yang telah ada dan diwariskan oleh para nenek moyang kita, yang telah dihasilkan dari kajian Alam Semesta Nusantara.


Pandangan Jaman Kaliyugo dan Penantian Ratu Adil


Ngelmu lan kasekteni iku ora kanggo pribadi, nanging kanggo nulung marang sapada-pada. (Ilmu dan kesaktian itu bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk menolong sesama).

 Prabu Jayabaya, merupakan tokoh penting dalam dunia Kejawen. Ia merupakan seorang raja yang masyhur dari kerajaan Kediri (1135 – 1157 M). Prabu Jayabaya merupakan raja yang bijaksana dan memiliki pandangan yang futuristik. Kewaskitaannya, mewujud dalam “ayat-ayat” spiritual dan dipercaya akan benar-benar terjadi.


Sabda-sabda dari Prabu Jayabaya dihafal dan disebarkan para pengikutnya secara lesan maupun tertulis. Manuskrip-manuskripnya mampu menjadi rujukan dan prediksi masa depan para pengagumnya. Sampai saat ini Prabu Jayabaya menjadi legenda yang setiap ramalannya dianggap titis, dan menyimpan rahasia kebijaksanaan bagi siapapun untuk menjadi hidup.

Pada saat itu, sang Prabu harus menghadapi dunia yang konon disebut sebagai ‘Jaman Kaliyuga’, dimana tanda-tanda akan berakhirnya sebuah dinasti sudah muncul. ‘Jaman Kaliyuga’ melanda kerajaan Kediri dan membuat kerajaan itu hancur pada sekitar tahun 1222 M. Semua tanda-tanda muncul karena Prabu Kertanegara atau biasa dikenal dengan Prabu Dandanggendis, seringkali bersikap lalim dan sewenang-wenang sehingga menyakiti hati para Brahmana. Akibatnya, sering terjadi bencana alam, kekacauan, dan perang saudara.

Ken Arok yang merupakan penguasa Tumapel setelah menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, serta memperistri Ken Dedes, melihat kerajaan Kediri yang semrawut dan di ambang kehancuran. Ken Arok mencoba memanfaatkan konflik internal kerajaan Kediri. Singkat cerita Ken Arok berhasil membuat para Brahmana kerajaan Kediri bangkit dan membantu Ken Arok untuk menduduki singgasana Kediri. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 1222 M kerajaan Kediri berhasil di caplok dan ditumbangkan Tumapel.

‘Jaman Kaliyuga’ merupakan ironi sebuah negeri, mungkin begitu yang dipikirkan sang prabu. Ia sadar, bahwa keperkasaan Kediri tinggal menunggu waktu saja. Bagaimana tidak, disaat kerajaan-kerajaan lain berpacu dalam membasmi kemiskinan, meningkatkan pendidikan dasar dan kesehatan rakyatnya, di kerajaannya waktu malah berputar sebaliknya. Sang prabu berpikir, saat itu air tidak lagi mengalir dari sungai ke lautan, melainkan lautan yang mengalir ke sungai.

Idiom ‘jaman Kaliyuga’ mungkin tepat untuk menggambarkan keadaan negeri kita saat ini. Sebagai sebuah negeri atau negara lebih tepatnya, Indonesia memang sedang menyerempet pada bahaya kehancuran. Vivire Pericolosa, atau sedang menyerempet-rempet bahaya. Kehancuran rasa nasionalisme, kehancuran moral, kehancuran budaya baik itu atas nama kesucian agama, sukuisme, politik dan lain sebagainya. Sungguh, jika pemerintah hanya membiarkan segala permasalahan berlarat-larat maka yang akan terjadi di negeri ini hanya kehancuran total. Lihat saja bencana alam, rasialisme, pembunuhan etnis, perang atas nama agama, mental korup para abdi negara, kekacauan politik, seakan menjadi budaya baru yang menggeser budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang.

Sebagai sebuah negara, Indonesia harus berhati-hati. Harus belajar banyak pada prahara-prahara besar sejarah mala lalu. Negara ini sering terperosok dan jatuh dalam lubang kesalahan yang sama. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Kondisi ‘Jaman Kaliyuga’ pada saat melanda dan kemudian menghancurkan kerajaan Kediri, sangat relevan dengan apa yang dialami bangsa ini. Saat ini.

Jika bangsa-bangsa lain sibuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berlomba-lomba menyediakan ruang publik yang nyaman. Memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal. Memberikan kesejahteraan bagi rakyat dengan membangun tempat-tempat penampungan para tunawisma, serta melakukan terobosan di bidang ilmu pengetahuan. Yang terjadi di negara kita malah sebaliknya, banyak pejabat negara yang memakan uang rakyatnya sendiri. Perkelahian bahkan saling bunuh sesama saudara sebangsa. Prinsip-prinsip luhur seperti Pancasila sebagai filosofi dasar negara, menguap dan semakin ditinggalkan.

Parahnya, keterpurukan yang melanda negeri ini ternyata dimanfaatkan oleh negara lain. Kita harus tetap waspada, serta sadar bahwa musuh yang sebenarnya itu datangnya dari luar, bukan dari negeri sendiri. Jika sampai saat ini kita masih disibukkan memerangi saudara sendiri, maka sudah saatnya untuk bersatu dan mengamankan tanah air agar tidak jatuh dan disetir negara lain. Seperti ketika Tumapel mencaplok kerajaan Kediri.


Meski dilanda ‘jaman Kaliyuga’, bukan berarti tidak ada secercah harapan untuk negeri ini. Karena masih ada harapan yang lebih baik ke depan. Bahkan sang Prabu sendiri meramalkan, akan datang ‘jaman Kretayuga’ atau ‘Kalakreta’, setelah ‘jaman Kaliyuga’. ‘Jaman Kretayuga’ merupakan jaman yang gemilang, jaman yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, jaman keemasan dimana rakyatnya makmur dan sejahtera. Tapi menurut sang Prabu, perubahan jaman itu tidak terjadi begitun saja, melainkan melalui tangan sang pembebas atau yang disebut Ratu Adil. Sekarang yang jadi pertanyaan, siapa yang akan menjadi Ratu Adil negeri ini? 


Mengenal dan Memahami Apa Itu Jawa

 Apa itu Jawa? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Laman KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Daring (Dalam jaringan) mendefinisikan kata Jawa dalam dua pengertian. Yaitu, suku bangsa yang berasal atau mendiami sebagian besar Pulau Jawa, dan bahasa yang dituturkan oleh suku Jawa.
Tapi apakah hanya itu pengertiannya? Nah, beberapa waktu lalu, acara Kelas Sabtuan, bertajuk “Sabtu Nguri-Uri” yang digelar di Kedai dan Rumah Belajar Béto, Kompleks Griya Patria, Jl Pejaten Barat No 16, Jakarta Selatan, mengangkat pertanyaan yang sama, yaitu “Apa itu Jawa?”, sebagai tema.
Di kelas belajar Budaya Jawa ini pertanyaan “Apa Itu Jawa” berusaha dijawab dengan melihat dari sudut pandang Etimologi, yang  meliputi Kebahasaan, Semiotik, dan Kesejarahan.
Menurut Donny Satryowibowo atau biasa dipanggil Rommo Donny, yang menjadi pembicara, secara umum kata Jawa memang mengacu pada nama-nama seperti suku, bahasa, budaya, pulau, dan termasuk pula paham.
“Sebenarnya luas sekali. Jawa itu adalah pemahaman menjalani hidup seperti ilmu padi… Yaitu mencoba memahami sesuatu secara keseluruhan, secara kesejatian. Padi itu apa, bermanfaat, dan berbahagia. Jadi dia berbahagia ketika dirinya bermanfaat, terus merunduk dan lain-lain. Memang panjang,” terang Romo Donny yang juga kadang menggunakan nama Donny S Ranoewidjojo.
Kata Jawa sendiri, menurut Romo Donny, memiliki kaitan erat dengan padi-padian. Beberapa kamus bahasa kuna menyebutkan kata jawa, jawi, jejawi, jawi-jawi, jawai, dan jawawut, yang kesemuanya merujuk pada bentuk padi-padian. Jawi-jawi, misalnya, disebutkan berupa batu-batu mulia kecil seperti biji padi, yang diuntai menjadi perhiasan.
 “Jadi memang arahnya ke sana kalau di kamus bahasa kuna, bahasa Jawa Kuna yang kita jumpai. Arahnya ke padi, walaupun tidak leterlek ada Jawa adalah padi, tidak. Karena Jawa sudah menjadi luas sekali, tidak hanya bisa disebut keluarga padi-padian. Kan gitu,” kata Romo Donny yang merupakan Pengasuh Seni dan Budaya UI, serta Sejarah Budaya IKJ.
Dan, Jawa sebagai Tanah Padi, secara harafiah, bisa dimaknai sebagai pulau subur yang dikepung oleh lautan, dialiri sungai-sungai, dan dipasaki oleh gunung-gunung sebagai paku, pusat kesuburan dan kehidupan beraneka ragam hayati.
Selain itu, padi secara simbolis memiliki makna yang sangat dalam. Seperti pengertian “Ilmu Padi”, yaitu semakin berisi semakin merunduk. Padi saat muda berwarna hijau, dan kemudian menua dengan warna kuning keemasan. Saat itu, ia akan menunduk luruh menghadap bumi seperti wajah orang bersujud.
“Setelah berisi dengan segala berkah dan kemanfaatan, sang Padi sadar untuk merunduk ke bawah dengan segala kebijaksanaan hukum alam, sangat berbeda dengan saat ia masih hijau mendongak menantang langit dengan gagah dan bangganya,” ujar Romo Donny yang merupakan Koord Divisi Sastra, Folklor, Permainan Dedaktik di Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) PBNU.
Mungkin, kita pernah mendengar orang berkata, “wong Jowo wis ilang jawane.” Saat ada orang Jawa yang dianggap sudah tidak tahu sopan santun, atau mungkin dianggap tidak berperilaku seperti layaknya orang Jawa.
Menurut Romo Donny, perkataan itu adalan unenunen Jawa atau semacam folklor, yang tidak diketahui siapa yang menciptakan. Lengkapnya berbunyi, “Wong Cino ilang pitunge, ilang cinane. Wong Londo ilang megahe, ilang landane. Wong Jowo ilang tapane, ilang jawane.”
“Jadi yang hilang itu tapaneTapa itu merenung, mencari rasa ini, mencari makna. Ketika orang Jawa tidak maungonceki (mengupas) semiotik (ilmu tanda), tidak mau ngonceki simbol. Tapa itu kan meneng di sudut-sudut,leren… tapa itu leren sedela, ngrungokke, ngonceki. Nah ketika ilang itu, ilang Jawane,” kata Romo Donny.