Selasa, 03 April 2018

Kidung Rumekso Ing Wengi, Kidung Tolak Bala Sunan Kalijaga

Orang Jawa punya kebiasaan  ngidung  atau  nembang. Baik  ngidung  maupun  nembang keduanya sama-sama menjadi klangenan masyarakat Jawa dalam merefleksi hidup. Seringkali kebiasaan itu berjalan beriringan dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, atau yang biasa disebut klenengan.
Pada sore hari selepas bekerja, masyarakat Jawa di pedesaan kerap menyenandungkan tembang-tembang Macapat. Ada sebuah ketenangan batin yang dirasakan setiap kali bait demi bait dinyanyikan. Demikian pula dengan sebuah tembang atau kekidungan, yang diberi judul Kidung Rumekso Ing Wengi. Kidung ini juga dikenal dengan nama “MANTRA WEDHA”. Berdasarkan cerita tutur, kidung ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Kidung ini biasa dinyanyikan pada malam hari, atau selepas shalat malam. Sebagaimana maknanya, Kidung Rumekso Ing Wengi bertujuan menyingkirkan diri dari balak atau gangguan, baik yang nampak maupun tidak.  Kidung ini juga mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Begini bunyinya,
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara 
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

(Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning 
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

(Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.)
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat 
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

(Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.)
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

(Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi  rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku.  Sedangkan Usman sebagai tulangku.)
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

(Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.)
Beberapa kalangan mengatakan, untuk mengamalkan kidung ini, seseorang haruslah puasa mutih selama 40 hari dan ngebleng semalam.  Kidung ini dibaca di halaman rumah atau pelataran waktu tengah malam sebanyak 11x. Dan setelah puasa, do’a kidung ini cukup dibaca satu kali.


Menguak Mitos Larangan Duduk di Depan Pintu

 Mitos jangan duduk atau berdiri di depan pintu sangat populer di tengah masyarakat. “Jangan duduk di depan pintu, nanti susah dapat jodoh!” atau “Jangan berdiri di depan pintu, nanti rezeki jadi seret!”
Ada juga larangan duduk menghalangi pintu pada ibu hamil. Sebagian besar mengatakan bahwa, dengan duduk menghalangi pintu, seorang ibu hamil akan kesulitan dalam proses kelahiran bayinya. Akibatnya persalinan pun akan lebih lama.
Bahkan ada yang melarang duduk di depan pintu karena mengganggu makhluk halus yang sedang melewati pintu tersebut. Pelanggar pantangan ini konon bisa mengalami sakit akibat teguran dari si makhluk halus.
Selintas, tak ada hubungannya antara duduk atau berdiri di depan pintu dengan jodoh atau rezeki. Mungkin kalimat tersebut terlahir dari pengalaman hidup yang dilalui oleh para orang-orang tua di zaman dulu.
Mitos pantangan ini biasanya diperuntukkan bagi seorang gadis. Hal ini dilakukan untuk menakut-nakuti atau mencegah agar sang gadis tidak duduk di depan pintu rumahnya.
Pantangan ini muncul karena pada zaman dulu ada kebiasaan para wanita yang suka mencari kutu atau melakukan tradisi Nginang dengan cara duduk berjejer di depan pintu. Kebiasaan itu berlangsung turun temurun, sehingga warga yang merasa terganggu lalu membuat larangan ini.
Dari beragam mitos itu, ada beberapa penjelasan yang ternyata bisa dinalar.Pertama, seorang gadis dilarang duduk di depan pintu karena akan menghalang-halangi orang yang akan keluar masuk rumah, termasuk tamu yang akan melamar sang gadis.Kedua, Berdiri atau duduk di depan pintu adalah perbuatan yang bisa menyulitkan orang lain yang akan masuk dan keluar melalui pintu tersebut.
Ketiga, bagi ibu hamil, larangan duduk di depan pintu ternyata ada alasannya. Duduk di depan pintu akan memperbesar potensi ibu hamil untuk terpapar penyakit yang ditularkan melalui udara, atau yang biasa dikenal dengan airborne disease. Pintu yang terbuka akan mendukung penyebaran virus airborne disease seperti flu. Ingat, hamil adalah saat daya tahan ibu sedang berada pada posisi terendahnya, sehingga membuat ibu akan rentan terinfeksi penyakit termasuk flu.
Keempat, dari sisi kesehatan, duduk menghalangi pintu juga berpotensi membuat masuk angin.

Kelima, dari sisi agama, Nabi Muhammad pernah bersabda, "Barang siapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka Allah ta’ala akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim). Dengan duduk-duduk di depan pintu, akan mempersulit lalu lalang banyak orang. Maka lebih baik tidak duduk di depan pintu agar tidak mengganggu orang lain, dan urusan kita juga dipermudah olehNya.

Candi Kidal, Sumber Inspirasi Lahirnya Lambang Negara

Candi Kidal yang terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kab Malang merupakan candi tertua langgam Jawa Timuran yang berkesan ramping dan dinamis. Merupakan satu-satunya candi yang reliefnya khusus bercerita tentang kisah Garudeya serta memiliki gambaran struktural ikonik Garuda paling lengkap dibandingkan dengan candi-candi lainnya.
Keunikan Candi Kidal adalah adanya unsur ajaran Syiwa dan Wisnu sekaligus dalam satu candi. Di dalam candi terdapat lingga yoni sebagai penanda ajaran Syiwa sementara itu di dinding luar candi terdapat relief Garudeya sebagai penanda ajaran Waisnawa (pemuja Wisnu).
Dalam Negarakretagama pupuh 41 bait 1 disebutkan bahwa Anusapati kembali ke Siwabuddhaloka. Adanya istilah Buddha menandakan bahwa tempat pendarmaan Anusapati (Candi Kidal) juga mengayomi penganut ajaran Buddha.
Atap candi Kidal tidak dihias dengan ratna sebagai ciri khas dari candi Hindu serta tidak dihias pula dengan stupa sebagai ciri khas dari candi Buddha.
Jadi dapat ditafsirkan bahwa Candi Kidal berkarakter sinkretisme antara Syiwa-Wisnu yang dibangun sebagai monumen persatuan nasional serta simbol pengayoman terhadap segenap rakyat Singhasari termasuk para pemeluk ajaran Buddha. Candi Kidal merupakan monumen persatuan pada masa Singhasari.
Keunggulan Relief
Pada candi Kidal terdapat relief Garudeya pada ketiga sisi kaki candi. Ketiga relief tersebut adalah Garuda dan para naga, dimana ibu Garuda masih dalam perbudakan sang Kadru. Garuda membawa tirta amerta, air suci sebagai penebus kebebasan sang ibunda. Dan Garuda bersama ibunya yang telah terbebas dari perbudakan sang Kadru dan para naga.
Keunggulan relief Garudeya di Candi Kidal adalah Garudeya merupakan satu-satunya relief cerita di Candi Kidal, artinya candi Kidal adalah candi yang khusus dibuat untuk menggambarkan kisah Garudeya. Di candi-candi lainnya relief Garudeya bercampur dengan relief- relief cerita yang lain.
Tiga panil relief Garudeya di Candi Kidal merupakan panil-panil yang merupakan kunci cerita yang mampu mengungkapkan keseluruhan cerita secara utuh. Inti cerita jauh lebih jelas terbaca yakni kisah pembebasan ibunda Garuda dari belenggu perbudakan
Kualitas gambar masih sangat bagus hingga bisa menampilkan pahatan secara detail. Tiga panil relief menggambarkan cerita yang berurutan dengan menggunakan cara baca prasawya (berjalan berlawanan dengan arah jarum jam).
Pahatan relief lebih mengarah kepada bentuk tiga dimensional sehingga nampak lebih hidup. Merupakan relief paling lengkap tentang kisah Garudeya.
Pranata Hukum
Bung Karno membentuk Panitia Lencana Negara yang beranggotakan Muhamad Yamin, Moch Hatta, Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantara, MA Pelleupesy, Moh Natsir, RM Ng Poerbatjaraka dan Doellah. Semuanya memiliki peran dalam merumuskan Lambang Negara. Artinya Lambang Negara Garuda Pancasila diciptakan secara kolektif oleh Panitia Lencana Negara bentukan Presiden Soekarno.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara menerangkan bahwa Garuda merupakan burung mitologi yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, serta terdapat di berbagai candi di Indonesia termasuk di Candi Kidal Malang.
PP tersebut kemudian disempurnakan dengan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1993 tentang Flora dan Fauna Nasional, elang Jawa ditetapkan sebagai satwa nasional karena kemiripan bentuk tubuh elang Jawa dengan Lambang Negara Garuda Pancasila.
Masyarakat Nusantara juga menyebut elang Jawa dengan istilah burung Garuda atau burung rajawali. Elang merupakan jenis satwa yang menempati posisi tertinggi dalam daur rantai makanan.
Lambang negara kita berbentuk Garuda Pancasila, kepalanya menoleh ke sebelah kanan dengan perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher serta kaki yang mencengkeram erat sebuah pita bertuliskan sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Garuda Pancasila memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17 helai, ekor berbulu 8 helai, pangkal ekor berbulu 19 helai dan leher berbulu 45 helai yang merupakan penanda dari hari kemerdekaan kita yaitu 17 Agustus 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36 A menyatakan bahwa ‘Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika’.
Sumber Inspirasi
Pada era Raja Dharmawangsa Teguh (991-1016) telah digubah beberapa bagian daripada kitab Mahabarata diantaranya adalah Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa. Cerita Garudeya yang menokohkan sang Garuda terdapat dalam kitab Adiparwa.
Kisah heroik pembebasan Ibunda sang Garuda dari belenggu perbudakan sebangun dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melepaskan Ibu Pertiwi dari belenggu perbudakan.
Dalam kisah mitologi Garuda merupakan wahana dari Dewa Wisnu, sinar Garuda sangat terang sehingga banyak yang mengiranya sebagai Dewa Agni penguasa api. Garuda dimaknai sebagai sang pembebas serta simbol spirit perjuangan yang tak kunjung padam.
Bentuk relief Garudeya di Candi Kidal memiliki banyak kemiripan dengan Garuda Pancasila. Berikut ini adalah beberapa kemiripan tersebut. Paruh sama-sama besar kuat, tajam dan terbuka. Lidah sama-sama melengkung ke atas.
Sama-sama memakai kalung, Garudeya berkalung ulur sedangkan Garuda Pancasila berkalung rantai dengan mata rantai berbentuk kotak dan bulat.
Sama-sama memakai hiasan di dada, Garudeya memakai selempang sedangkan Garuda Pancasila memakai perisai berbentuk jantung. Sama-sama memiliki cakar yang kuat dan besar. Memiliki bentuk sayap yang sangat mirip sekali. Arah muka sama-sama menengok lurus ke kanan.
Sama-sama membawa kain panjang, Garudeya mencengkeram kain selendang sebagai pengikat guci tirta amerta sedangkan Garuda Pancasila mencengkeram pita selendang bertuliskan sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Urutan arah membaca simbol dalam jantung perisai lambang negara sama dengan arah membaca relief Garudeya yaitu dengan cara prasawya.
Jejak Lambang Negara
Dari waktu ke waktu, burung Garuda seudah dipakai sebagai lambang negara (kerajaan). Era Mataram Kuno, pada masa Dharmawangsa Teguh Garudhamukha dijadikan sebagai cap stempel resmi negara.
Raja Kahuripan, Prabu Airlangga menjadikan Garudhamukha sebagai lambang negara. Airlangga digambarkan sebagai Wisnu yang mengendarai Garuda.
Jaman kerajaan Singhasari, relief Garudeya dipahatkan khusus pada candi resmi negara. Kidal termasuk dalam golongan tempat pendharmaan para raja (dharmahaji).
Raden Wijaya dan penerusnya di Kerajaan Majaphit menggunakan warna merah putih sebagai bendera nasional, dimana merah putih adalah warna kebesaran burung Garuda secara mitologis. Dan lambang Ngayogjakarta Hadiningrat / keraton Jogja menggunakan sayap Garuda.
Pada sketsa rancangan awal Panitia Lencana Negara gambar Garuda sangat mirip dengan relief Garuda di Candi Kidal. Yaitu sama-sama berambut ikal ngore gimbal, sama-sama berdiri di atas padma (bunga teratai), sama-sama menghadap ke kanan, sama-sama memiliki bahu, sama sama memiliki tangan, sama-sama memiliki sayap yang mirip sekali dengan penggambaran Garudeya di Candi Kidal.
Dari berbagai keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa relief Garudeya di Candi Kidal merupakan sumber inspirasi lahirnya Lambang Negara Garuda Pancasila.
Lambang Negara kita tidak menjiplak lambang dari negara lain, melainkan berasal dari akar jatidiri bangsa pada masa kerajaan Singhasari.
Pusparagam dalam kesatuan yang terdapat pada Candi Kidal juga menjadi sumber inspirasi adanya sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Candi Kidal adalah mahakarya terbaik Singhasari untuk bangsa Indonesia.  


Kisah Ceita Ramayana: Mitos atau Sejarah?

Candi Prambanan
Ramayana hampir selalu dikaitkan dengan dunia pewayangan dan kesenian. Nama ini sudah populer sejak lama. Dalam bahasa Sansekerta Rāma berarti Rama dan Ayaa berarti Perjalanan.

Kitab Ramayana berisi epos atau cerita kepahlawanan, berasal dari India, dan dikarang oleh Walmiki sekitar tahun 400 sebelum Masehi. Isi kitab terdiri atas tujuh jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 seloka.
Ketujuh kanda itu adalah:
1. Bala-kanda, menceritakan tentang raja Dasaratha yang beranak Rama, Bharata, serta Laksmana dan Satrugna
2. Ayodhya-kanda, menceritakan perjalanan Rama, Sita (Sinta), dan Laksmana di hutan
3. Aranya-kanda, menceritakan penculikan Sita oleh raksasa jahat bernama Rahwana dan pertolongan burung garuda bernama Jatayu
4. Kiskindha-kanda, menceritakan penggempuran Kiskindha oleh Rama dan pasukan kera pimpinan Sugriwa
5. Sundara-kanda, menceritakan upaya Hanoman menemukan Sita
6. Yuddha-kanda, menceritakan pertempuran dahsyat Rama dengan Rahwana dan
7. Uttara-kanda, menceritakan lanjutan riwayat Rama dan kembalinya Rama ke kahyangan sebagai Wisnu.
Dalam agama Hindu, Wisnu adalah dewa yang memelihara dan melangsungkan alam semesta. Sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, dia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia.
Untuk keperluan ini, Wisnu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan macamnya bahaya. Penjelmaan Wisnu itu disebut awatara. Mula-mula jumlah awatara banyak sekali, namun kemudian menjadi sepuluh.
Sembilan di antaranya telah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum. Awatara Wisnu yang berhubungan dengan Ramayana adalah awatara ketujuh, yakni Rama-awatara.
Jawa Kuno
Kisah Ramayana muncul dalam banyak versi. Selain di Indonesia, kisah sejenis muncul di Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Cina, Filipina, dan Thailand. Di Indonesia kitab Ramayana telah disadur ke dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) berbentuk kakawin. Kemungkinan besar dilakukan pada zaman Kerajaan Mataram kuno abad ke-9.
Sendratari Ramayana
Berbagai cerita Ramayana di Indonesia diketahui bersumber pada Ramayana Walmiki. Para pengarang Indonesia memang sengaja membuat perbedaan agar cerita Ramayana cocok dengan alam pikiran dan tata nilai bangsa Indonesia.
Penyimpangan cerita Ramayana dalam kebudayaan tradisional Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, berkaitan dengan tradisi sanggit.
Sanggit adalah penyusunan suatu cerita yang telah dikenal secara khas, yang dilakukan oleh seorang seniman atas dasar pandangan hidup, pendirian, selera, maupun tujuan-tujuan tertentu yang mungkin dimiliki seniman tersebut dalam menampilkan suatu cerita (Moehkardi, 2011).
Kakawin Ramayana Jawa kuno hanya berakhir dengan kembalinya Rama dan Sita ke Ayodhya. Bagian-bagian selanjutnya dihilangkan oleh penyadurnya.
H Kern merupakan orang pertama yang menerbitkan kakawin Ramayana dalam aksara Jawa baru pada 1900. Selanjutnya HH Juynboll menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Setelah itu naskah Ramayana banyak ditelaah para pakar, antara lain WF Stutterheim RMNg Poerbatjaraka dan C Hooykaas.
Di mata para pakar, Ramayana sering dianggap sebagai salah satu sumber untuk mengetahui hubungan pertama India dengan Nusantara. Kitab itu menyebut nama Yawadwipa sebagai pulau emas dan perak. Mungkin mengacu kepada Pulau Jawa sekarang. Kitab itu juga menyebut Suwarnadwipa, yang berarti pulau emas, mungkin yang dimaksud Pulau Sumatera.
Cerita Ramayana versi Jawa yang paling populer di kalangan rakyat adalah Serat Rama karya Jasadipura I (1729-1802). Dia seorang pujangga istana Surakarta.
Sendratari Ramayana yang dikenal sekarang, menggunakan Serat Rama sebagai sumber cerita. Cerita Ramayana pernah diadaptasi ke dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Seri Rama.
Relief Candi
Saking populernya, cerita Ramayana dipahatkan pada Candi Prambanan (abad ke-9) dan Candi Panataran (abad ke-14). Pada Candi Prambanan, relief Ramayana dipahatkan pada pagar langkan bagian dalam Candi Siwa dan Candi Brahma.
Relief tersebut terbagi dalam panel-panel, masing-masing 24 panel pada Candi Siwa dan 30 panel pada Candi Brahma. Setiap panel dipisahkan oleh pahatan pilaster. Kadang-kadang sebuah panel memuat lebih dari satu adegan.
Relief Ramayana dimulai dari Candi Siwa dengan urutan cerita berawal dari sebelah kiri pintu masuk sisi timur, berjalan searah jarum jam, dan berakhir di sebelah kanan pintu masuk sisi timur.
Dilanjutkan di Candi Brahma dengan dengan urutan seperti di Candi Siwa, mulai dari sebelah kiri pintu masuk dan berakhir di sebelah kanan pintu masuk (Moertjipto dkk, 1991). Relief pada Candi Panataran kurang begitu dikenal, mungkin karena candi itu terletak di Jawa Timur.
Presiden Soekarno pernah sangat terpesona oleh Ramayana, terutama dengan salah satu tokohnya, Jatayu. Beliau sangat mengagung-agungkan sosok berujud burung garuda itu.
Maka atas inspirasi Soekarno, perusahaan penerbangan pertama Indonesia diberi nama Garuda. Yang fenomenal tentu saja lambang negara Burung Garuda Pancasila. Lambang itu juga tercipta atas jasa Soekarno.
Dalam mitologi kuno, Garuda adalah lambang dunia atas, matahari, dan pengusir kegelapan. Tokoh Garuda memiliki arti simbolis, menggambarkan sifat ketangkasan, melayang tinggi, dan kedahsyatan.
Karena itu Garuda sering kali dihubungkan dengan berbagai prinsip keagamaan, sebagai kekuatan yang membawa hidup sekaligus mempertahankan hidup.
Mitos atau Sejarah?
Belum jelas benar apakah kitab Ramayana berisi hal-hal mitos ataukah informasi sejarah. Sejak beberapa tahun lalu beberapa arkeolog, termasuk arkeolog India, menelusuri nama-nama tempat yang disebutkan dalam kitab Ramayana, termasuk kitab Mahabharata yang juga berisi epos.
Sendratari Ramayana
Penelitian juga pernah dilakukan arkeolog AS, Michael Cremo tahun 2003. Selama delapan tahun dia meneliti kitab suci Weda dan Jaina, yang ditulis pendeta Walmiki. Dia menemukan nama-nama yang tertera di kitab tersebut ada di India. Penelitian itu ditemani tim dan rekannya, Dr Rao, arkeolog India.
Dikabarkan telah ditemukan sebuah jembatan yang sangat unik di Selat Palk antara India dan Srilanka. Jembatan misterius itu menghubungkan dua daratan, yaitu antara Pulau Manand (Srilanka) dan Pulau Pamban (India).
Jembatan itu populer karena konon digunakan oleh tentara Hanoman untuk menyeberang ke Alengka dalam rangka membebaskan Sita dari penculikan Rahwana. Keberadaan jembatan itu tidak di darat, melainkan di bawah air laut sekitar 1,5 meter.
Konstruksi jembatan akan tampak lebih nyata bila dilihat dari udara. Jembatan tersebut panjangnya sekitar 30 kilometer, dengan lebar hampir 100 meter.
Hasta Brata
Banyak teladan atau pesan moral diselipkan para penyadur Ramayana, terlebih ucapan bijak Rama kepada adik-adiknya. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas kewajiban seorang raja), dijumpai ajaran tentang hasta brata atau asthabrata (hasta = delapan, brata = pedoman).
Astabratha merupakan petunjuk Sri Rama kepada adiknya, Bharata yang akan dinobatkan menjadi Raja Ayodhya. Astabratha disimbolkan dengan sifat-sifat mulia dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin.
Dalam naskah lain, Rama menghibur Wibisana yang akan diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar seorang raja yang bijaksana harus mengikuti delapan sifat dewa, yaitu sebagai Indra, Yama, Surya, Soma, Bayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Sebagai Yama (Dewa Maut), dia harus menghukum para pencuri dan semua penjahat. Sebagai Surya (Dewa Matahari), yang senantiasa menghisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak memberatkan.
Sebagai Soma (Dewa Bulan), dia harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumnya. Sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyelusup ke tempat-tempat yang tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di kalangan masyarakat.
Sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi secara wajar; sebagai Waruna (Dewa Laut), yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat. Dan sebagai Agni (Dewa Api), dia harus membasmi musuhnya dengan segera.  


Senin, 26 Maret 2018

Filosofi Kehidupan Dari Bangsal-Bangsal Keraton Surakarta Hadiningrat

Ada pepatah “Wong Jowo nggone semu.” Orang Jawa ahlinya perlambangBegitu ungkapan yang konon pas untuk menggambarkan citra manusia Jawa. Yang tidak suka mengungkapkan sesuatu secara gamblang, melainkan membalutnya dengan menggunakan pasemon, atau sebuah perlambang. Terutama tentang ajaran kehidupan.

Dan itu pula yang  saya dapatkan dari bangunan yang ada pada keraton Solo. Ketika menikmati keindahan bangunan Bangsal dan Bale yang ada di kawasan Sitinggil.
Kalau kita berjalan meninggalkan Pagelaran ke arah selatan, maka akan menemukan bangunan yang bernama Sitinggil atau Sitihinggil itu.

Bangunan yang secara harfiah berarti tanah yang ditinggikan. Karena dalam bahasa Jawa, siti berarti tanah dan hinggil adalah tinggi. Maka kita temui sekarang, bangunan Sitinggil benar-benar merupakan tempat yang lebih tinggi dibanding bangunan yang lain di sekitarnya. Bahkan  lingkungan ini pun dikelilingi oleh tembok tebal yang tinggi pula.

Dan konon makna dari bangunan Sitinggil merupakan perlambang berkembangnya kedewasaan manusia. Maka untuk menjabarkan ajaran itu, jalan dari Pagelaran menuju Sitinggil pun dibuat mendaki. Merupakan gambaran naiknya tingkat kejiwaan kita.

Jalan berundak ini bernama Kori Mijil, yang berarti pintu keluar. Dalam bahasa Jawa kori adalah pintu, dan mijil adalah keluar. Sebuah ajaran untuk mengingatkan kita, bahwa cermin kedewasaan jiwa adalah kemampuannya menjaga ucapan. Hingga dalam bertutur kata hendaknya apa yang keluar dari mulut kita hanyalah kebenaran dan kejujuran saja.

Kawasan Sitinggil lengkapnya bernama Sitinggil Binata Wrata. Bangunan yang didirikan Paku Buwono III pada tahun 1774 dengan candrasengkala ‘Siti Inggil Palenggahaning Ratu’. Sebuah kode hitungan tahun matahari yang secara kata berarti ‘tanah yang ditinggikan sebagai tempat bertakthanya raja’.

Selepas menapaki jalan berundak Kori Mijil, bangunan paling depan kawasan Sitinggil bernama Bangsal Sewayana. Yang pada jaman dulu merupakan tempat para pejabat menghadap raja. Juga merupakan aula untuk melaksanakan upacara kebesaran kerajaan.
Berada di tengah-tengah Bangsal Sewayana, terdapat bangunan bernama Bale Manguntur Tangkil. Inilah tempat singgasana raja bertakhta. Konon di bawahnya tertanam batu andesit yang merupakan takhta kebesaran Prabu Suryawisesa, sang Raja Jenggala.

Manguntur Tangkil berasal dari kata manguntur dan tangkil. Manguntur bermula dari kata mangun tutur, yang berarti membuat kata-kata indah atau memberikan sebuah ucapan rayuan. Sedangkan tangkil berarti tampil ke depan. Jadi secara harfiah, manguntur tangkil berarti memulai dengan kata-kata rayuan yang penuh keindahan.

Sebagai pribadi yang telah dewasa, merupakan saat yang diwajibkan untuk bisa mengolah asmara dalam sebuah pernikahan yang sakral. Karena dengan itu, kedua pribadi dewasa akan melahirkan keturunan bagi kelangsungan hidup mereka.

Hingga bisa dikatakan, kawasan Sitinggil merupakan bangunan yang maknanya mengajarkan kedewasaan. Dan Bale Manguntur Tangkil merupakan perlambang menuju ke arah itu. Karena setelah dewasa dan menikah, maka kehidupan rumah tangga sebagai suami istri pun dimulai. Merupakan saat bertemunya laki-laki dan perempuan yang tengah dianugerahi nikmat asmara.

Maka manguntur tangkil atau menampilkan rayuan adalah ajaran untuk saling mengungkapkan rasa cinta. Sebuah tuntunan membangkitkan asmara agar jiwa bersatu dalam membentuk generasi baru. Yang proses ‘ibadah terindah’ itu akan terasa lebih indah apabila didahului dengan saling menampilkan kata-kata indah atau cumbu rayu.
Berada di belakang Bangsal Manguntur Tangkil, sebuah bangunan bernama Bangsal Witana. Dahulu merupakan tempat berkumpulnya para abdi dalem yang membawa perangkat upacara kebesaran kerajaan.

Witana berasal dari kata ‘wiwitane ana’ yang berarti awal mula kehadiran manusia. Sebuah perlambang tentang permulaan kehidupan, yang dimulai dari tersedianya ‘benih’ dan ‘rahim’. Sebuah makna dari bertemunya benih dari perempuan untuk dibuahi oleh laki-laki. Yang proses itu menjadi wiwitane ana, atau awal hadirnya keturunan kita.


Melangkah lagi ke depan, terdapat sebuah bangunan bernama Bangsal Manguneng. Letaknya tepat berada di tengah-tengan Bangsal Witana dan Bangsal Sewayana.
Secara harfiah manguneng berarti mengheningkan cipta. Karena manguneng berasal dari kata mangun yang artinya membangun dan meneng yang berarti diam. Maka Bangsal Manguneng merupakan perlambang agar pribadi yang dewasa dalam membentuk keturunan baru, harus melalui proses mengheningkan cipta. Yakni untuk selalu meniatkan dan mendekatkan diri pada Tuhan, dengan makin memperbanyak doa.

Dari Bangsal Manguneng, kalau kita menoleh ke timur, akan bertemu dengan Bangsal Angun-angun. Kata angun-angun mempunyai arti sesuatu yang masih samar atau masih dibayangkan. Bangunan yang menjadi perlambang, bahwa membentuk keturunan baru adalah sebuah rencana yang  masih berada dalam harapan. Karena itulah, harus semakin giat mendekatkan diri pada Tuhan, bahkan memerlukan penguat iman.

Maka di barat Bangsal Sewayana, kita akan dapati sebuah bangunan bernama Bangsal Bale Bang. Bale Bang berasal dari kata nggebang yang artinya menegakkan. Sebuah ajaran untuk selalu menegakkan atau memperkuat keimanan. Harus mempertebal iman dalam membentuk pribadi yang masih diangankan sebagai keturunan kita.

Kemudian, berada di sebelah selatan Bangsal Witana kita dapati sebuah tembok tinggi memanjang bernama Kori Renteng. Sebuah tembok penghalang yang jika dilihat dari arah selatan, seluruh bangunan yang berada di Sitinggil tidak bisa kelihatan.
Karena Kori Renteng artinya pintu penutup. Sebuah bangunan yang merupakan kiasan dari usaha untuk selalu menutup atau menjaga rahasia keluarga. Bahwa sesuatu yang ada dalam rumah tangga kita, orang lain tidak selayaknya ikut mengetahuinya.

Cukup suami istri saja yang tahu apa cela dan kekurangan masing-masing. Karena bukan pribadi yang dewasa, ketika seorang suami masih suka mengeluhkan kekurangan istrinya. Dan bukan istri yang dewasa, ketika sangat gemar membeberkan kekurangan suaminya.

Maka Kori Renteng yang merupakan pintu penghalang dari arah utara kawasan Sitinggil, sangat tepat untuk menjadi pembelajaran. Bahwa kebersamaan menjaga rahasia, menghormati dan menghargai perbedaan adalah sebuah cermin sikap jiwa yang dewasa. Yang juga merupakan sebuah jalan untuk menjadi sebuah keluarga bahagia.

Karena hanya dari keluarga bahagia itulah yang akan melahirkan generasi yang berguna bagi sesama. Yang dari pertama membangun keluarga, sudah dimulai dengan sebuah kejujuran dan keterbukaan. Bahkan ketika membentuk dan merencanakan keturunan pun selalu diikuti dengan doa dan sepenuh mengheningkan cipta. Dengan selalu mendekatkan diri pada Tuhan untuk semakin mempertebal iman.

Maka selepas dari Sitinggil, sebagai jalan ke luar ke arah selatan, kita akan melewati sebuah pintu besar bernama Kori Mangu. Sebuah pintu yang bermakna untuk membuang segala sikap keragu-raguan atau kebimbangan. Sebab kori dalam bahasa Jawa adalah pintu, dan mangu artinya ragu-ragu.

Suatu ajaran untuk mengingatkan kita, bahwa ciri kedewasaan jiwa juga hendaknya tidak mudah digelisahkan oleh keraguan. Juga tidak gampang bimbang untuk meneruskan langkah peningkatan jiwa selanjutnya, menuju kesempurnaan kehidupan.  



Menelisik Sekilas Tentang Astrologi Jawa

Secara umum, pengertian dari astrologi adalah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang. Umumnya, yang lebih kita kenal adalah ilmu astrologi yang berasal dari mitologi Yunani kuno. Ternyata, oran

g Jawa pun mempunyai seni ilmu meramal ini, yakni astrologi Jawa yang telah ada secara turun temurun dari nenek moyang kita. Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah mempunyai patokan perbintangan untuk mengamati Alam Semesta dan Kehidupan.

Tapi sayangnya, seperti yang terjadi pada tradisi warisan leluhur yang lain, ilmu astrologi Jawa ini perlahan namun pasti mulai menghilang dalam kehidupan orang Jawa itu sendiri. Padahal Astrologi Jawa adalah hasil kajian dari nenek moyang kita sendiri, yang tentunya lebih sesuai bagi Alam Semesta di pulau Jawa atau Indonesia secara umum. Tidak perlu munafik untuk mengakui, kita sekarang lebih mengenal Ilmu Astrologi Barat atau Yunani kuno yang sering disebut Zodiak.

Astrologi Jawa berasal dari Horoskop Jawa Kuno, yang mengungkapkan rahasia Pranata Mangsa (sifat umum suatu masa). Pranata Mangsa terdiri dari 12 (dua belas) perputaran mangsa, seperti halnya dalam Astrologi Barat yang disebut Zodiak. Mangsa-mangsa itu adalah Mangsa “KASO, KARO, KATELU, KAPAT, KALIMA, KANEM, KAPITU, KAWOLU, KASANGKA, KASADASA, DESTA, dan SADDHA”. Setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki hari kelahiran, bulan kelahiran, dan tahun kelahiran. Dan dalam Astrologi Jawa nasib seseorang dapat diramal atau diketahui melalui hari lahir dan bulan kelahirannya.

Nasib seseorang yang dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa adalah seperti Keberuntungan, Kesehatan, Sifat khusus, Pekerjaan/Karier, Rejeki, Jodoh, hobi, Batu permata, serta Warna dan Bunga yang digemari. Bahkan keadaan fisik, masa kanak-kanak, masa remaja, ciri khas yang mencolok, hobi, dan hal yang lainnya juga dapat diramal atau diketahui dengan Ilmu Astrologi Jawa. Karena itulah ada istilah “weton” atau hari lahir yang dimiliki oleh setiap orang. Berdasarkan weton ini lah orang jawa akan meramal atau mengetahui bagaimana nasib atau sifat dari seseorang atau anak-anak mereka.

Sekarang ini kebanyakan orang menggunakan perhitungan weton hanya ketika akan menentukan jodoh atau juga hari baik untuk melaksanakan hajatan. Padahal dari weton itu sendiri kita dapat meramal atau mengetahui banyak hal lain yang berhubungan dengan diri seseorang. Atau juga mengetahui tentang hal baik dan buruk dari suatu mangsa. Sebagai contoh untuk menentukan waktu baik saat memulai masa tanam, menentukan jenis tanaman, dan hal lain yang berhubungan dengan pertanian. Dan juga untuk menentukan hari baik saat akan membuat atau memindah rumah. Dengan menggunakan Ilmu Astrologi Jawa tentunya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi menggunakan ilmu Astrologi Jawa. Bahkan sebagian orang sudah tidak mempercayai adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita ini. Mereka lebih memilih tren yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh banyaknya orang yang memilih tanggal 12 desember 2012 untuk melaksanakan pernikahan mereka. Karena mereka anggap tanggal, bulan dan tahun itu spesial karena keunikannya, yaitu angka 12-12-12.

Bahkan yang lebih mencengangkan adalah ketika para ibu hamil memilih anak mereka dilahirkan pada tanggal spesial itu dengan cara operasi cesar. Padahal anak tersebut belum waktunya untuk dilahirkan pada hari itu. Masyarakat sekarang lebih memilih sesuatu yang dianggap spesial dan bisa dibanggakan. Dan mereka tak lagi peduli dengan istilah perhitungan hari baik atau pun hari kelahiran. Padahal Ilmu Astrologi Jawa adalah hasil dari kajian nenek moyang kita yang tentunya tidak dihasilkan dengan cara asal-asalan.


Mungkin berbicara tentang Astrologi Jawa di jaman modern sekarang ini,yang semua hal dapat dilakukan dengan teknologi. Akan dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, bahkan dianggap sesat ketika dihubungkan dengan Tuhan atau pun agama tertentu. Tapi biar bagaimana pun juga Astrologi Jawa adalah sebuah warisan budaya yang merupakan hasil kajian nenek moyang kita. Yang tentunya harus tetap kita jaga keberadaannya. Adat dan Budaya adalah merupakan salah satu ciri khas dari orang desa. Yang telah ada dan diwariskan oleh para nenek moyang kita, yang telah dihasilkan dari kajian Alam Semesta Nusantara.


Pandangan Jaman Kaliyugo dan Penantian Ratu Adil


Ngelmu lan kasekteni iku ora kanggo pribadi, nanging kanggo nulung marang sapada-pada. (Ilmu dan kesaktian itu bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk menolong sesama).

 Prabu Jayabaya, merupakan tokoh penting dalam dunia Kejawen. Ia merupakan seorang raja yang masyhur dari kerajaan Kediri (1135 – 1157 M). Prabu Jayabaya merupakan raja yang bijaksana dan memiliki pandangan yang futuristik. Kewaskitaannya, mewujud dalam “ayat-ayat” spiritual dan dipercaya akan benar-benar terjadi.


Sabda-sabda dari Prabu Jayabaya dihafal dan disebarkan para pengikutnya secara lesan maupun tertulis. Manuskrip-manuskripnya mampu menjadi rujukan dan prediksi masa depan para pengagumnya. Sampai saat ini Prabu Jayabaya menjadi legenda yang setiap ramalannya dianggap titis, dan menyimpan rahasia kebijaksanaan bagi siapapun untuk menjadi hidup.

Pada saat itu, sang Prabu harus menghadapi dunia yang konon disebut sebagai ‘Jaman Kaliyuga’, dimana tanda-tanda akan berakhirnya sebuah dinasti sudah muncul. ‘Jaman Kaliyuga’ melanda kerajaan Kediri dan membuat kerajaan itu hancur pada sekitar tahun 1222 M. Semua tanda-tanda muncul karena Prabu Kertanegara atau biasa dikenal dengan Prabu Dandanggendis, seringkali bersikap lalim dan sewenang-wenang sehingga menyakiti hati para Brahmana. Akibatnya, sering terjadi bencana alam, kekacauan, dan perang saudara.

Ken Arok yang merupakan penguasa Tumapel setelah menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, serta memperistri Ken Dedes, melihat kerajaan Kediri yang semrawut dan di ambang kehancuran. Ken Arok mencoba memanfaatkan konflik internal kerajaan Kediri. Singkat cerita Ken Arok berhasil membuat para Brahmana kerajaan Kediri bangkit dan membantu Ken Arok untuk menduduki singgasana Kediri. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 1222 M kerajaan Kediri berhasil di caplok dan ditumbangkan Tumapel.

‘Jaman Kaliyuga’ merupakan ironi sebuah negeri, mungkin begitu yang dipikirkan sang prabu. Ia sadar, bahwa keperkasaan Kediri tinggal menunggu waktu saja. Bagaimana tidak, disaat kerajaan-kerajaan lain berpacu dalam membasmi kemiskinan, meningkatkan pendidikan dasar dan kesehatan rakyatnya, di kerajaannya waktu malah berputar sebaliknya. Sang prabu berpikir, saat itu air tidak lagi mengalir dari sungai ke lautan, melainkan lautan yang mengalir ke sungai.

Idiom ‘jaman Kaliyuga’ mungkin tepat untuk menggambarkan keadaan negeri kita saat ini. Sebagai sebuah negeri atau negara lebih tepatnya, Indonesia memang sedang menyerempet pada bahaya kehancuran. Vivire Pericolosa, atau sedang menyerempet-rempet bahaya. Kehancuran rasa nasionalisme, kehancuran moral, kehancuran budaya baik itu atas nama kesucian agama, sukuisme, politik dan lain sebagainya. Sungguh, jika pemerintah hanya membiarkan segala permasalahan berlarat-larat maka yang akan terjadi di negeri ini hanya kehancuran total. Lihat saja bencana alam, rasialisme, pembunuhan etnis, perang atas nama agama, mental korup para abdi negara, kekacauan politik, seakan menjadi budaya baru yang menggeser budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang.

Sebagai sebuah negara, Indonesia harus berhati-hati. Harus belajar banyak pada prahara-prahara besar sejarah mala lalu. Negara ini sering terperosok dan jatuh dalam lubang kesalahan yang sama. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Kondisi ‘Jaman Kaliyuga’ pada saat melanda dan kemudian menghancurkan kerajaan Kediri, sangat relevan dengan apa yang dialami bangsa ini. Saat ini.

Jika bangsa-bangsa lain sibuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berlomba-lomba menyediakan ruang publik yang nyaman. Memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal. Memberikan kesejahteraan bagi rakyat dengan membangun tempat-tempat penampungan para tunawisma, serta melakukan terobosan di bidang ilmu pengetahuan. Yang terjadi di negara kita malah sebaliknya, banyak pejabat negara yang memakan uang rakyatnya sendiri. Perkelahian bahkan saling bunuh sesama saudara sebangsa. Prinsip-prinsip luhur seperti Pancasila sebagai filosofi dasar negara, menguap dan semakin ditinggalkan.

Parahnya, keterpurukan yang melanda negeri ini ternyata dimanfaatkan oleh negara lain. Kita harus tetap waspada, serta sadar bahwa musuh yang sebenarnya itu datangnya dari luar, bukan dari negeri sendiri. Jika sampai saat ini kita masih disibukkan memerangi saudara sendiri, maka sudah saatnya untuk bersatu dan mengamankan tanah air agar tidak jatuh dan disetir negara lain. Seperti ketika Tumapel mencaplok kerajaan Kediri.


Meski dilanda ‘jaman Kaliyuga’, bukan berarti tidak ada secercah harapan untuk negeri ini. Karena masih ada harapan yang lebih baik ke depan. Bahkan sang Prabu sendiri meramalkan, akan datang ‘jaman Kretayuga’ atau ‘Kalakreta’, setelah ‘jaman Kaliyuga’. ‘Jaman Kretayuga’ merupakan jaman yang gemilang, jaman yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, jaman keemasan dimana rakyatnya makmur dan sejahtera. Tapi menurut sang Prabu, perubahan jaman itu tidak terjadi begitun saja, melainkan melalui tangan sang pembebas atau yang disebut Ratu Adil. Sekarang yang jadi pertanyaan, siapa yang akan menjadi Ratu Adil negeri ini?