Sepintas, makna
harfiah dalam falsafah Jawa ini sangat
sederhana. Tapi ini akan berlaku kebalikannya bagi para pendaki spiritual,
makna yang terkandung dalam falsafah ini bagi pendaki spiritual sangatlah
besar. Setidaknya, paling sederhana makna dalam falsafah ini, kita pasti bisa
bertemu dengan Gusti Allah di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.
Maksudnya adalah. orang
hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak, dan
lain-lainnya. Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan
makanan untuk kita makan. Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan
bekerja mencari duit. Bener tidak!
Nah, ketika kita makan
itu sebenarnya hanyalah untuk menunda kematian. Lantaran diperalat oleh indera,
kulit, daging, perut, otak, dan lainnya. Maka kita ini disebut mati dan hanya
Ruh kitalah yang hidup. Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat
jasad ini ditinggalkan. Ruh akan tetap hidup.
Ruh tidak pernah butuh
makan, tidur, apalagi butuh duit. Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik
Ruh. Itulah sebabnya kita di tuntut untuk "belajarlah mati sebelum
kematian itu datang". Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah
kita belajar mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal yang bersifat
mengotori hati. Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan sang Pemberi
hidup.
Belajar mati sejatinya
menjadi sangat penting. Sederhananya agar nanti ketika kita mati tidak salah
arah dan salah langkah. Mungkin sebagian dari kita berpikiran bahwa orang mati
ibarat tidur menunggu pengadilan dari Allah Yang Maha Agung?
Bagi pendaki
spiritual, orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju Yang Maha
Kuasa. Seperti yang sudah saya tulisa di akarasa ini, orang Jawa mengatakan
dalam kata-kata bijaksananya, Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu
seperti orang yang mampir minum).
Seandainya ada ruang
yang cukup untuk mengkajianya, kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di
dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir yang berjalan, lalu kelelahan,
istirahat dan minum di bawah pohon. Ketika rasa letih dan lelah itu sudah
sirna, si musafir itupun harus kembali melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu
saja ke tempat tujuannya.
Gusti Allah itu dekat,
jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat tentang Gusti Allah. Tetapi
sebaliknya, Gusti Allah itu akan terasa jauh ketika sang musafir tersebut lebih
banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain Gusti Allah.

Begitu halnya ketika
kita ingin berjumpa dengan-Nya. Pasti di setiap waktu segala kerinduan itu akan
menjadi bagian hidup kita dan setiap waktu itu pula kita akan selalu meng
ingat-Nya, mematuhi segala perintah-Nya. Ibadah hanya untuk-Nya, bukan untuk
mertua, istri, apalagi atasan. Meskipun Gusti Allah itu bersifat Gaib.
Apakah bisa kita yang
nyata ini bertemu dengan yang Gaib, demikian toh pertanyaannya? Secara rasional
orang akan berfikir demikian. Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para perindu
Tuhan. Seseorang bisa bertemu dengan Sang Gaib dengan menggunakan satu piranti
khusus yaitu Rasa dan mata batin. Sebab Gusti Allah itu tidak bisa dipandang
dengan mata telanjang.
Maka dapat kita simpulkan bahwa untuk bertemu dengan Gusti Allah
mesti harus menggunakan piranti yang halus yaitu dengan Rasa dan Mata Batin
kita. Jika Rasa itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata
pedang. Dan rasa itu akan akan senantiasa menjadikan kita deket dengan-Nya.
Sehingga di setiap langkah, gerak, tindakan dan aliran darah, kita serasa dalam
pangkuan-Nya. Disinilah berlakunya Falsafah ‘Sopo sing Temen Bakal Tinemu"
(Siapa yang bersungguh sungguh dalam ibadah mangka dia akan menemukan-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar