Kamis, 02 November 2017

Sengkolo dalam Perspektif Budaya Jawa

Kata sengkolo  bagi orang Jawa sudah tidak asing lagi.  Sengkolo, meski merujuk pada deretan kata berupa kalimat atau bukan kalimat yang mengandung angka tahun. Tapi istilah yang merupakan rintangan kehidupan yang dialami oleh manusia yang diakibatkan dengan adanya energi negatif atau aura hitam yang tidak selaras yang terdapat didalam tubuh seseorang, sehingga bisa mengakibatkan penderitaan hidup lahir dan batin.

Seperti halnya. Contoh. usaha atau bisnis yang selalu gagal atau barangkali  persoalan asmara yang sering putus tanpa sebab yang jelas. Contoh yang lain misalnya, dalam usaha kita sudah termasuk rajin bekerja dan berusaha namun selalu mengalami kegagalan padahal ada orang lain yang usahanya santai-santai saja selalu saja mengalami keberuntungan.

Penyebab dari Sengkolo ada berbagai macam. Ada Sengkolo yang sudah dibawa sejak dilahirkan (konon ini biasanya akibat perbuatan jelek yang dilakukan bapak/ibu ketika kita dalam kandungan), ada sengkolo akibat perbuatan tidak baik kepada orang lain di masa sekarang. Bahkan ada Sengkala yang sengaja dilakukan orang dengan tujuan jahat karena bermusuhan dengan kita dan lain-lain sebab. 

1.    Berbagai Jenis Sengolo yang harus segera di ruwat  dikategorikan menjadi 29 macam, yaitu :
2.    Kebo Kemali (pacaran sering putus atau sulit dapat jodoh)
3.    Bahu Laweyan (jika menikah maka pasangan atau anak kita meninggal)
4.    Jlomprong (sering sakit sakitan)
5.    Cluwak Bodas (sering bertengkar dengan pasangan)
6.    Sambit (hidup selalu susah/gagal akibat lupa bayar hutang)
7.    Cekal Kendit (karir macet, jabatan tak pernah naik)
8.    Gotro Pati (rejeki seret, kerja siang malam tak ada hasil)
9.    Kantong Bolong (uang sebesar berapun yang dimiliki selalu habis, boros)
10.  Gendring Bumi (usaha yang dimiliki selalu gagal karena tanah yang ditempati wingit, angker/keramat atau ber energi negatif)
11.  Ruwing (sial terus menerus karena menyakiti orang tua)
12.  Rerewo Bodes (sering sial karena suka ingkar janji)
13.  Bandor Sari (sering sial karena dikutuk/disumpah ibu)
14.  Jeblak (sering sial karena dikutuk/disumpah ayah)
15.  Cengis (hidup selalu difitnah orang)
16.  Gabuk (sudah lama menikah belum memiliki anak)
17.  Cluring (hidup selalu sial, usaha bangkrut, sering sakit sakitan alias sial multidimensi)
18.  Branjang Sunu (sial karena sering makan makanan haram)
19.  Srigunting (sering ditolak dalam urusan asmara)
20.  Blunuk Glontar (hidup sengsara karena menolak cinta seseorang)
21.  Blorong (tidak betah berkerja dan selalu pindah-pindah karena berbagai masalah)
22.  Pantek Jangkar (jiwa labil karena salah atau belum siap dalam belajar ilmu)
23.  Gombak Gimbal (sial karena ada bagian tubuh yang diubah misalnya operasi plastik dll)
24.  Jebluk (sering mengalami musibah atau kecelakaan)
25.  Borong Cokro (sial karena ingkar nadzar atau janji pada seseorang)
26.  Surengkala (dimana-mana selalu dimusuhi orang)
27.  Cleret Timbal (kesialan karena hukum karma akibat perbuatan dimasa lalu yang tidak baik)
28.  Gendrung Bedes (sial karena sering melakukan perbuatan maksiat)
29.  Blongkang Suji (kesialan karena pernah membunuh orang)
30.  Birowo (kesialan karena disabda oleh seseorang)

Dalam budaya Jawa, solusi untuk mengatasi sengkolo ini adalah segera mengikuti ruwata agar energi negatif atau aura hitam yang terdapat dalam diri kita hilang dalam tubuh dan berganti dengan aura positif yang selaras dengan energi diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Sehingga kehidupan kita mengalami perubahan drastis yang jauh lebih sehat, damai, dekat pada Tuhan, berhasil, sukses, kaya, makmur dan semua keinginan serta impian/cita-cita Anda bisa terwujudkan dengan lancar dan mudah.    



Memahami Makna Serat Cemporet


Serat Cemporet adalah salah satu hasil Karya besar pujangga Ranggawarsita. Ranggawarsita adaah salah satu puangga asal pulau Jawa yang paling terkenal, sosok dan karya-karyanya menjadi perhatian dunia, namun sayang banyak anak negeri yang lupa akan sang pujangga dan lebih mengaggumi pujangga impor. Selain memiliki bobot yang berkualitas, kata-kata sastranya juga selaras dengan perkembangan zaman. Karya Ranggawarsita yang terkenal, antara lain: Jaka Lodhang, Pustaka Raja Purwa, Sabda Jati dan Hidayat Jati. Selain itu, ada juga Serat Cemporet .

Serat Cemporet lebih terkenal lantaran digubah memakai bahasa Jawa yang indah. Zaman dahulu, sebelum Jepang menjajah Indonesia, buku tersebut digemari banyak orang untuk bacaan, khususnya yang senang melantunkan macapat. Namun demikian, juga tidak sedikit orang yang mencela kitab tersebut lantaran bahasa yang digunakan terlalu halus (bahasa sastra tinggi). Obrolan orang desa yang memakai bahasa tadi dianggap terlalu tinggi, sehingga terkesan dibuat-buat.

Kesan itu pernah ditulis oleh Prof. Dr. R. Ng Purbacaraka dalam bukunya “Kepustakaan Jawa”. Tapi banyak juga orang yang setuju dengan pendapat tersebut karena karya sastra itu mempunyai kebebasan dalam memilih kata-kata, dan tidak harus mengikuti idiom-idiom yang ada di masyarakat tertentu.

Serat Cemporet tersebut sampai sekarang masih digemari. Cerita yang dipaparkan dalam kitab ini benar-benar memikat dan memukau pembaca. Pintarnya sang pujangga dalam menghubungkan ceritanya memang mumpuni. Yang menjadi tokoh tidak hanya manusia saja, tapi ada juga dunia gaib siluman/dewa beserta hewan-hewan. Namun demikian, Ranggawarsita juga tidak lupa menyisipkan nasihat-nasihat atau petuah-petuah arif yang berasal dari nenek moyang.

Serat Cemporet Ranggawarsita, kisahnya memang ceritera kuno, bagian akhir dari pustaka Rajaweda, yaitu mengenai Negara Purwacarita di istananya Raja Sri Maha Punggung. Awal ceritanya, Raja Suwelacala memiliki putra 6 orang, yaitu: 
1.    Raden Jaka Panuhun yang suka bertani. Dia merangkul petani tlatah Pagelan dan sekitarnya. Raden Jaka Panuhun berputra 3 orang, yang sulung bernama Raden Jaka Pratana. Badannya cebol. Lalu yang nomor dua bernama Raden Jaka Sangara yang punya cacat saat lahir, dan yang bungsu bernama Raden Jaka Pramana dari ibu keturunan jin.
2.    Raden Jaka Sandanggarba, membawahi masyarakat pedagang di Jepara dengan julukan Sri Sadana. Raden Jaka Sandanggarba berputra 5 orang, yaitu Raden Jaka Sudana, Raden Jaka Barana (Daniswara), Raden Jaka Suwarna (Anggliskarpa), Raden Jaka Pararta dan Dewi Suretna.
3.    Raden Jaka Karungkala yang membawahi daerah Prambanan dengan julukan Sri Kala. Raden Jaka Karungkala berputra 4 orang, yaitu Dewi Karagan, Dewi Jonggrangan, Raden Jaka Sangkala (Arya Pramadasakala) dan Raden Jaka Pramada (Raden Prawasata).
4.    Jaka Tunggulmetung yang membawahi di Pagebangan, memimpin petani garam dengan julukan Sri Malaras. Jaka Tunggulmetung berputra 2 orang, yaitu Raden Jaka Suwarda dan Raden Jaka Damedas.
5.    Raden Jaka Petungtantara yang menjadi pimpinan maharesi Medhangkawit dengan julukan Resi Sri Madewa. Pusat kerajaannya di Pamagetan, lereng Gunung Lawu. Raden Jaka Petungtantara berputra dua orang, yaitu Dewi Resi dan Raden Surasa (resikana).
6.    Raden Jaka Kandhuyu berkuasa di Purwacarita dengan julukan Sri Maha Punggung, yang bertahta pada tahun Surya 1031 atau 1061. Istrinya ada 3 orang, yang kesemuanya adalah putra seorang dewa. Istri pertama bernama Dewi Sundadari, punya anak bernama Raden Kandaga (Raden Lembu Jawa atau Arga Kalayuda) dan Raden Kandiyana.
7.    Istri kedua yaitu Dewi Mandyadari Retna Kenyapura yang berputra Raden Kandawa. Istri yang ketiga, Dyah Upalagi, berputra Raden Kandeya (Arya Pralambang) dan Raden Kandiyana.

Tersebutlan dalam ceritera tadi mengenai Raja Pagelen yang punya keinginan menikahkan putranya, Jaka Pramana dengan Dewi Suretna, putri raja di Jepara. Lalu, timbul masalah lantaran Jaka Pramana belum berhasrat nikah jika kakak-kakaknya yang cacat tadi belum menikah. Begitu juga Dewi Suretna tidak mau menikah dengan putra raja di Pagelen, lantaran dikira bakal dinikahkan dengan yang menyandang cacat.   


Falsafah Sopo Sing Temen Bakal Tinemu dalam Olah Spiritual Jawa

Bagi  kita yang kebetulan orang Jawa tentunya sudah  akrab dengan falsafah seperti pada judul di atas. Sopo sing temen bakal tinemu. Secara harfiah, falsafah lawas ini artinya ‘siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya’.

Sepintas, makna harfiah dalam falsafah Jawa  ini sangat sederhana. Tapi ini akan berlaku kebalikannya bagi para pendaki spiritual, makna yang terkandung dalam falsafah ini bagi pendaki spiritual sangatlah besar. Setidaknya, paling sederhana makna dalam falsafah ini, kita pasti bisa bertemu dengan Gusti Allah di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.

Maksudnya adalah. orang hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan. Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit. Bener tidak!

Nah, ketika kita makan itu sebenarnya hanyalah untuk menunda kematian. Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak, dan lainnya. Maka kita ini disebut mati dan hanya Ruh kitalah yang hidup. Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan. Ruh akan tetap hidup.

Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit. Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh. Itulah sebabnya kita di tuntut untuk "belajarlah mati sebelum kematian itu datang". Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati. Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan sang Pemberi hidup.

Belajar mati sejatinya menjadi sangat penting. Sederhananya agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah. Mungkin sebagian dari kita berpikiran bahwa orang mati ibarat tidur menunggu pengadilan dari Allah Yang Maha Agung?

Bagi pendaki spiritual, orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju Yang Maha Kuasa. Seperti yang sudah saya tulisa di akarasa ini, orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya, Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum).

Seandainya ada ruang yang cukup untuk mengkajianya, kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon. Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.

Gusti Allah itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat tentang Gusti Allah. Tetapi sebaliknya, Gusti Allah itu akan terasa jauh ketika sang musafir tersebut lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain Gusti Allah.

Lantas, bagaimana untuk bisa bertemu dengan Gusti Allah? Jadi begini kisanak. Sebagaimana kita ingin bertemu dengan pacar atau dalam bahasa Jawa gandulaning ati, sebelum ketemu kita  pasti sudah membayangkan kemolekan tubuhnya, senyumnya dan berjuta khayalan yang njubel di benak toh. Bahasa anak muda sekarang ‘jauh di mata, dekat di hati’.

Begitu halnya ketika kita ingin berjumpa dengan-Nya. Pasti di setiap waktu segala kerinduan itu akan menjadi bagian hidup kita dan setiap waktu itu pula kita akan selalu meng ingat-Nya, mematuhi segala perintah-Nya. Ibadah hanya untuk-Nya, bukan untuk mertua, istri, apalagi atasan. Meskipun Gusti Allah itu bersifat Gaib.

Apakah bisa kita yang nyata ini bertemu dengan yang Gaib, demikian toh pertanyaannya? Secara rasional orang akan berfikir demikian. Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para perindu Tuhan. Seseorang bisa bertemu dengan Sang Gaib dengan menggunakan satu piranti khusus yaitu Rasa dan mata batin. Sebab Gusti Allah itu tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.

Maka dapat kita simpulkan bahwa untuk bertemu dengan Gusti Allah mesti harus menggunakan piranti yang halus yaitu dengan Rasa dan Mata Batin kita. Jika Rasa itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang. Dan rasa itu akan akan senantiasa menjadikan kita deket dengan-Nya. Sehingga di setiap langkah, gerak, tindakan dan aliran darah, kita serasa dalam pangkuan-Nya. Disinilah berlakunya Falsafah ‘Sopo sing Temen Bakal Tinemu" (Siapa yang bersungguh sungguh dalam ibadah mangka dia akan menemukan-Nya