Banyak orang
menganggap Suluk Gatholoco lebih nakal ketimbangSerat
Centhini. Gatholoco memang membenarkan dan menganjurkan hubungan seks
sebagai salah satu cara “berdialog” dengan Tuhan, sebagai salah satu pengaruh Tantra.
Bahkan, selain
Gatholoco sebagai tokoh utama, kelima istrinya, Dewi Mlenukglembuk, Dewi Dudul
Mendut, Dewi Rara Bawuk, Dewi Bleweh, dan Retna Dewi Lupitwati (berkaitan
dengan peristilahan kelamin perempuan), hadir menjadi bagian cerita dan teman
dialog sang tokoh utama kala mendedah ajaran mistik Kejawen.
Penggubah Suluk
Gatholoco memakai bentuk cangkriman (tebak-tebakan)
supaya mudah diingat, karena kandungan isinya terlampau “berat” untuk dipahami
awam. Cangkriman kali pertama diajukan Gatholoco kepada ketiga
kiai mengenai asal-usul siapa lebih tua antara dalang, wayang, kelir,
dan blencong.
Setelah ketiga kiai tak mampu menjawab,
Gatholoco memulai sesi tebak-tebakan dengan kelima perempuan.
Dewi Mlenukgembuk memulai dengan pertanyaan mengenai isi dunia dan siklus alam. Lantas, Dewi Dudulmendut bertanya mengenai dualisme di dunia. Rara Bawuk kemudian membuka dialog dengan pertanyaan mengenai sifat hidup dan nyata dalam kehidupan. Bersambung kemudian Dewi Rara Bleweh juga mengajukan cangkrimanbermacam-macam nafsu manusia. Terakhir, Retna Dewi Lupitwati bertanya mengenai penyatuan manusia.
Dewi Mlenukgembuk memulai dengan pertanyaan mengenai isi dunia dan siklus alam. Lantas, Dewi Dudulmendut bertanya mengenai dualisme di dunia. Rara Bawuk kemudian membuka dialog dengan pertanyaan mengenai sifat hidup dan nyata dalam kehidupan. Bersambung kemudian Dewi Rara Bleweh juga mengajukan cangkrimanbermacam-macam nafsu manusia. Terakhir, Retna Dewi Lupitwati bertanya mengenai penyatuan manusia.
Gatholoco dengan lihai
menjawab kelima pertanyaan mereka. Dia menang menghadapi kelima perempuan kelak
menjadi istrinya itu. Sang pangeran kelana tersebut lantas meminta kelima
perempuan membuka busana. Seketika, Gatholoco leluasa meraba bagian tubuh
mereka.
Tak lama, Gatholoco menaikan permainan dengan
mengajak mereka mengadu kelamin. Lantaran dirasa tabu, dia pun kemudian memberi
wejangan dalam bentuk tembang Dhandanggula.
Damardjati Supadjar, pakar Filsafat Jawa dari Yogyakarta, menyebut Suluk Gatholoco bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat terberat adalah seks. “Hanya mereka yang lulus dari ujian ‘mekakah’, yang makin jelas bentang kebenaran yang mengatasi ruang dan waktu, yang bisa melakukan transformasi ke tarikat, apalagi menuju hakikat,” seperti dikutip dalam artikel ‘Kebrutalan Gatholoco Kesendirian Darmogandhul’ oleh Sucipto Hadi Purnomo dimuat SuaraMerdeka.com.
Damardjati Supadjar, pakar Filsafat Jawa dari Yogyakarta, menyebut Suluk Gatholoco bukan untuk memuja seks, melainkan untuk menunjukkan bahwa ujian syariat terberat adalah seks. “Hanya mereka yang lulus dari ujian ‘mekakah’, yang makin jelas bentang kebenaran yang mengatasi ruang dan waktu, yang bisa melakukan transformasi ke tarikat, apalagi menuju hakikat,” seperti dikutip dalam artikel ‘Kebrutalan Gatholoco Kesendirian Darmogandhul’ oleh Sucipto Hadi Purnomo dimuat SuaraMerdeka.com.