Selasa, 28 Februari 2017

Kawruh Kejawen


Pada awalnya banyak bermunculan presepsi salah kaprah tentang Kejawen. Kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama yang ada. Kalau kita bertanya tentang kitab suci ajaran Kejawen tentu kita tidak akan mendapatinya. Karena Kejawen bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi nusantara.

“Kitab Suci” Kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitar kita. Semua itu lazim disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya pun  bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan ngelmu titen, indera yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.

Di samping nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung. Piwulang Kejawen menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local yang telah ada terlebih dulu. Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup Jawa atau Kejawen. Jika definisikan, mistik kejawen merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat Kejawen mudah menerima anasir asing yang positif.

Berbeda dengan nilai agama yang bersifat statis, kaku atau saklek dan anti-perubahan, nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke Nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdot, kalau nilai agama masuk sampai mendarah-daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah Kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.

Sebenarnya Sudah banyak pembahasan lain tentang ritual yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan YME.

Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya.

Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.

Istilah ritual seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan buang-buang waktu, biaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma agama. Secara pribadi tuduhan itu sangat menyakitkan, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini.

Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih kesuksesan termasuk keselamatan.

Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran primitif dan tidak masuk akal.

Sesaji merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring, atau banyak mulut saja, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji.
 
Misalnya, doa yang beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial.  


  

Memahami Filosofi Kejawen, Kawruh Sejatining Urip


Tata kehidupan ini, khususnya Wong Jowo, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Jujur saja, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.

Masyarakat Jawa sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia secara umum lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya.

Untuk lebih jelasnya, saya ajak kerabat akarasa untuk sejenak menyimak tembang dhandanggula warisan para leluhur berikut dibawah ini :

Kawruhana sejatining urip/
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)

Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang
langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:

"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya." ("Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia")

Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?

Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan." (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")

Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.

Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang
 sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?

Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).

Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula. Sekian dulu semoga tulisan pendek ini ada manfaatnya untuk kita semua.



Menghayati Filosofi Pitutur Jawa, Ana Catur Mungkur

Ungkapan  judul di atas, bagi sebagian  orang Jawa tentu tidak lah asing lagi. Ungkapan seperti pada judul di atas, hampir serupa dengan ungkapan ‘Ojo podho nyacat wong liyo, Ngilo githo'e dewe’. Ungkapan yang baru saya sebutkan ini kalau di Indonesi-kan adalah ‘Jangan senang mencela orang lain, berkacalah pada tengkuk sendiri ".

Githok (Jawa) atau tengkuk ini seperti yang kita tahu adalah bagian leher paling belakang. Bagian satu ini termasuk sangat sulit terlihat, segede apapun cerminnya. Bagian satu ini mustahil untuk terlihat. Kecuali kalau kita ke tukang cukur rambut atau ke salon, yang kacanya ada di depan dan belakang itu. Pitutur ini sama arti dengan peribahasa ‘Gajah bengkak di depan mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak’.

Baik kita kembali pada judul di atas, Ana Catur MungkurAna Catur Mungkur secara harfiah kalau kita Indonesia-kan adalah ‘ada pembicaraan membelakangi’ atau menggunjing. Ungkapan ini adalah kiasan atau pasemon (Jawa) untuk menggambarkan yang menyangkut keberukan atau keburukan orang lain. Catur yang dimaksud dalam ungkapan ini artinyangrasani eleking liyan (membicarakan keburukan orang lain), meski kata catur ini dalam bahasa Jawa juga bisa berarti empat.

Dalam budaya manapun, perbuatan catur atau nyatur atau juga ngrasani (mempergunjingkan) orang lain adalah satu perbuatab tercela, karena dapat menimbulkan sakit hati pada orang lain yang dirasani.

Pada umumnya, nyatur atau ngrasani (membicarakan) orang lain itu mengacu pada sudut kelemahannya atau sisi negatifnya, dan jarang membicarakan dari sudut kebaikannya karena tujuannya memang untuk menjatuhkan martabat orang yang dirasani atau dipergunjingkan. Ungkapan ini sejajar dengan nasihat ojo metani alaning liyan (jangan mencari-cari keburukan orang lain).

Jamaknya seorang manusia yang lebih senang mencela orang lain, pada sisi lain justru enggan dan tidak mau mengerti tentang kesalahan sendiri. Tindakan itu sangat negatif karena dapat menimbulkan perselisihan. Pertama, hampir semua orang tidak suka dipergunjingkan keburukannya. Orang cenderung akan kecewa, sakit hati, atau bahkan marah sewaktu orang lain ngrasani keburukan diri kita, keluarga kita, masyarakat kita yang secara norma hukum dan sosial tidak ada kaitannya dengan sang penggunjing.

Kedua, tindakan ngrasani sebagai tindakan tidak transparan. Sang penggunjing dapat melihat keburukan orang lain, tapi tidak berani mengatakan keburukan diri sendiri. Lebih jauh, seseorang cenderung tidak konsekuen, dapat atau mau melihat kesalahan orang lain sekecil apapun tetapi tidak mau melihat kesalahan diri sendiri walaupun kesalahan itu sangat besar.

Para pendahulu Jawa telah memberikan wejangan atau nasihat agar seseorang tidak mempergunjingkan kesalahan orang lain. Ia lebih baik mengoreksi diri atau kesalahannya sendiri dengan harapan dapat memperbaiki perbuatannya. Akan tetapi, hal itu sudah pasti sulit dilakukan jika tidak didasarkan pada sikap lembah manah (rendah hati).

Nasihat atau wejangan tersebut disapaikan dengan ungkapan wong ikut ora bisa ngilo githoke dhewe (seseorang itu tidak dapat berkaca pada punggung sendiri). Maksudnya, seseorang itu tidak dapat melihat kesalahan diri sendiri, dan justru pandai melihat kesalahan orang lain.

Cermin adalah kaca yang dapat menampakkan sesuatu yang ada di depannya. Apa yang terlihat di cermin sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Namun tidak mungkin orang bercermin pada punggung sendiri. Punggung jelas bukan cermin sehingga tidak mampu memperlihatkan kesalahan yang telah diperbuat pada waktu sebelumnya.


Ungkapan Ana Catur Mungkur menganjurkan kita untuk tidak membicarkan kelemahan orang lain. Jika ada orang lain yang mengajak dirinya untuk membicarakan kelemahan orang lain, jika ada orang yang sengaja menyeret kita untuk mempermasalahkan kelemahan orang lain, segeralah menghindar. Segeralah untuk mungkur (menghindar) dari pembicaraan tersebut.