
“Kitab Suci” Kejawen
adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari
kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam
lingkungan alam sekitar kita. Semua itu lazim disebut sebagai “kitab satra
jendra”. Cara membacanya pun bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan
perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca “kitab sastra
jendra” dengan menggunakan ngelmu titen, indera yang digunakan adalah indera
keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan
seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.
Di samping nilai-nilai
kearifan lokal yang adiluhung. Piwulang Kejawen menjadikan nilai-nilai “impor”
yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai
kearifan local yang telah ada terlebih dulu. Keuntungannya justru terjadi
proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup Jawa atau Kejawen.
Jika definisikan, mistik kejawen merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai
kearifan lokal yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual
animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai
dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat Kejawen mudah
menerima anasir asing yang positif.

Sebenarnya Sudah
banyak pembahasan lain tentang ritual yang dilakukan oleh penghayat falsafah
hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda,
namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Bedanya
hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun hakekat dari
ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata
laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya
mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat
ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung
maksud permohonan doa kepada Tuhan YME.
Misalnya pada saat
bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan
ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan
para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan
suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun
pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti
affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara
nyekar atau ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para
leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan
pepundennya yakni para leluhurnya.
Karena bagi masyarakat
mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih
hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti
padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah,
ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta
sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.

Dalam Budhisme dan
Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali
terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan
hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat,
masyarakat akademik, masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang
dutujukan untuk meraih kesuksesan termasuk keselamatan.
Dalam masyarakat Jawa
ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik
Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji,
mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung
makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan
setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus
bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana
karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia
lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang,
semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap
negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah
keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan
kesadaran primitif dan tidak masuk akal.
Sesaji merupakan
bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun
horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai
konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring,
atau banyak mulut saja, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari.
Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang
afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam
berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji.
Misalnya, doa yang beragam hendaknya dilakukan
secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan
ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu
diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah,
runcing di bagian atas. Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton
sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan
orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga
dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan
ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan
anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni
bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh
yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial.