
Seperti kita ketahui,
bahwa budaya Jawa penuh dengan simbol-simbol nilai filosofi yang sangat kental.
Begitupun halnya yang diterapkan oleh HB I, ia sangat memegang teguh akan
pentingnya nilai historis maupun filosofis-religius yang dipercaya dapat
berpengaruh pada sikap perilaku dirinya sebagai raja berpengaruh pada para
kawulanya. Itulah sebabnya pada waktu negosiasi dengan Hartingh di Desa
Pedagangan, Grobogan tanggal 22 - 23 September 1754, Pangeran Mangkubumi atau
HB I ini bersikukuh letak Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat harus di Hutan
Beringan, Desa Pacethokan, diapit Sungai Code dan Sungai Winongo, di Utara ada
Gunung Merapi dan di Selatan ada Samudra Indonesia.
Pemilihan letak pusat
kerajaan sekaligus sebagai pusat pemerintahan tersebut tidak sekadar didasarkan
atas pertimbangan fisik dan teknis semata. Justru pertimbangan faktor filosofi,
religi dan budaya yang lebih dominan. Pun halnya, ketika HB I membentuk satuan
prajurit Kasultanan sampai penempatan lokasi tempat tinggal prajurit yang
menyerupai tapal kuda terhadap lokasi kraton Yogyakarta pun tidak lepas dari
pertimbangan filosofis, teknis dan budaya.
Falsafah dasar yang
diletakkan oleh HB I di dalam membentuk watak prajurit kraton adalah‘Watak
Ksatriya’ atau ‘Wataking Satriya Ngayogyakarta' yang
dilandasi dengan credo (sesanti)Sawiji, Greget, Sengguh,
Ora Mingkuh.
Falsafah Sawiji (Nyawiji), Greget,
Sengguh, Ora Mingkuh ini merupakan Budaya Ide HB I, kemudian
dimanifestasikan dalam Budaya Perilaku. Sesanti ini dipegang sebagai falsafah
hidup, pandangan hidup dan falsafah Joged Mataram.
Sebagai Falsafah Hidup
Sawiji artinya orang harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Greget berarti seluruh aktivitas dan gairah hidup harus
disalurkan melalui jalan Gusti Kang Murbeng Dumadi.Sengguh dimaknai
sebagai harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk paling sempurna. Ora
Mingkuh artinya, meskipun mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam
hidup, namun selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Adil.
Sebagai Pandangan
Hidup
Sawiji diartikan konsentrasi yang harus diarahkan ke tujuan hidup atau
cita-cita. Gregetadalah dinamika dan semangat hidup yang harus
diarahkan ke tujuan melalui saluran - saluran yang wajar. Sengguh artinya
percaya penuh pada kemampuan pribadinya untuk mencapai tujuan. Ora
Mingkuh perlu dipegang erat-erat. Meskipun dalam perjalanan menuju ke
tujuan (cita-cita) akan menghadapi halangan-halangan tetap tidak akan mundur
setapakpun.
Sebagai Falsafah Joged
Mataram
Sawiji artinya konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa. Greget bermakna
dinamis atau semangat yang membara di dalam jiwa setiap penari tidak boleh
dilepaskan begitu saja, akan tetapi harus dapat dikekang untuk disalurkan ke
arah yang wajar dan menghindari tindakan yang kasar. Sengguh itu
percaya diri sendiri tanpa mengarah ke kesombongan atau pongah. Ora
Mingkuh sikap yang tidak lemah jiwa atau kecil hati, tidak takut
menghadapi kesukaran - kesukaran dan mengandung arti penuh tanggung jawab.
Falsafah Sawiji,
Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dijadikan landasan pembentukan watak
ksatria yang pengabdiannya hanya ditujukan pada nusa, bangsa dan negara. Watak
luhur berdasar idealisme dan komitmen atas kebenaran dan keadilan yang tinggi,
integritas moral serta nurani yang bersih.
Ksatrya itu
penampilannya dilengkapi dengan pakaian yang sering disebut dengan Baju Takwa.
Baju Takwa dimaksud juga disebut dengan Pengageman Mataraman atau Surjan.
Pakaian takwa secara resmi merupakan pakaian identitas "Wong
Ngayogyakarta" yang ditentukan oleh HB I beberapa waktu setelah
perjanjian Giyanti ditandatangani.
Makna Filosofi
Nama-nama Bregada Prajurit
Prajurit Kraton
Yogyakarta saat ini terdiri atas 10 bregada. Perbedaan antar bregada yang satu
dengan yang lain ditentukan menurut atribut panji-panji (bendera), busana, dan
kelengkapannya. Nama-nama bregada/ pasukan tersebut adalah Prajurit Wirabraja,
Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagakarya, Prajurit
Prawiratama, Prajurit Nyutra, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero,
Prajurit Bugis, dan Prajurit Surakarsa.
Semua nama bregada
prajurit, mode atribut panji-panji, warna busana, dan kelengkapan dalam
prajurit Kraton Yogyakarta mempunyai makna filosofis. Berikut ini saya sarikan
makna filosofis atas nama, mode jenis panji-panji, dan warna busana tersebut.
PRAJURIT WIRABRAJA
Nama Wirabraja berasal
dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti 'tajam', kedua kata ini
berasal dari bahasa Sansekerta. Secara filosofis Wirabraja bermakna suatu
prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam serta peka panca
inderanya. Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia
akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan
nama kuno dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan
maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan
ini.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan centhung berwarna merah
seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya adalah segi empat berwarna
merah dengan pada bagian tengahnya adalah segi delapan berwarna putih.
Gula-klapa berasal
dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini adalah gula Jawa yang
terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna merah; sedangkan 'kelapa' berwarna
putih. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani membela
kesucian/kebenaran.
PRAJURIT DHAENG
Nama Dhaeng berasal
dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan di Makasar. Secara
filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti prajurit
Makasar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda.
Menurut sejarah, prajurit
Dhaeng adalah prajurit yang didatangkan oleh Belanda untuk memperkuat bala
tentara Raden Mas Said. Raden Mas Said kemudian berselisih dengan Pangeran
Mangkubumi (mertua yang sekaligus pamannya). Padahal kedua tokoh ini semula
bersekutu melawan Belanda. Puncak atas perselisihan itu adalah perceraian Raden
Mas Said dengan istrinya. Istri Raden Mas Said adalah putri Pangeran Mangkubumi
atau HB I. Pada waktu memulangkan istrinya, Raden Mas Said
(Mangkunegara/Pangeran Sambernyawa) khawatir jika nanti HB I marah.
Untuk menjaga hal yang
tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu Bendara diminta
agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng. Setelah sampai di
Kraton Yogyakarta, justru disambut dengan baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan
tangan terbuka, disambut dengan baik. Atas keramahtamahan tersebut, kemudian
justru membuat prajurit Dhaeng tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian
mengabdi dengan setia kepada HB I. Laskar Dhaeng kemudian oleh HB I diganti
menjadi Bregada Dhaeng.

PRAJURIT PATANGPULUH
Mengenai asal usul
nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan yang dapat menjelaskan
secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota
bregada.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Patangpuluh adalah Cakragora, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar hitam, di tengahnya adalah bintang segi enam berwarna merah.
Cakragora berasal dari kata bahasa Sansekerta "cakra" 'senjata
berbentuk roda bergerigi' dan "gora", juga dari bahasa Sansekerta
berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara filosofis bermakna pasukan yang mempunyai
kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan
bisa terkalahkan,
PRAJURIT JAGAKARYA
Prajurit Jagakarya
berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal bahasa Sansekerta berarti
'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi berarti 'tugas, pekerjaan'.
Secara filosofis Jagakarya bermakna pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga
dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Jagakarya adalah Papasan, berbentuk empat persegi panjang dengan warna
dasar merah, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hijau. Papasan berasal
dari kata nama tumbuhan atau burung papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari
kata dasar 'papas' menjadi 'amapas" yang berarti 'menghancurkan'. Secara
filosofis papasan bermakna pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh
dengan semangat yang teguh.
PRAJURIT PRAWIRATAMA
Nama Prawiratama
berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal dari bahasa Kawi berarti
'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama" atau
"utama" bahasa Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam bahasa
Kawi berarti ahli atau pandai. Secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan
yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana
perang.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Prawiratama adalah Geniroga, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Geniroga
berasal dari kata 'gent berarti 'api', dan kata Sansekerta 'roga' berarti
'sakit'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu
mengalahkan musuh dengan mudah.
PRAJURIT NYUTRA
Nama Nyutra berasal
kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti
unggul, lulungidan (ketajaman), pipingitan/sinengker. Sedangkan dalam bahasa
Jawa Baru berarti 'bahan kain yang halus'; sedangkan awalan N- berarti
'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'.
Prajurit Nyutra
merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini merupakan
kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra bermakna
pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga mendampingi keamanan
raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan ketrampilan yang unggul. Itulah
sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai persenjataan yang lengkap (tombak, towok
dan tameng, senapan serta panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku Buwono IX,
anggota Prajurit Nyutra diwajibkan harus bisa menari.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep sari dan Padma-sri-kresna. Podhang
ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah.
Padma-sri-kresna untuk Prajurit Nyutra Hitam berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hitam.
Podhang ngingsep sari
berasal dari kata podhang berarti 'kepodang (jenis burung dengan bulu warna
kuning indah keemasan)', ngingsep = 'mengisap', dan sari = 'inti, sari'. Secara
filosofis Nyutra Merah bermakna pasukan yang selalu memegang teguh pada
keluhuran. Padma-sri-kresna berasal dari tiga kata bahasa Sansekerta, yaitu:
"padma" berarti 'bunga teratai', "sri" berarti 'cahaya,
indah', dan "kresna" yang berarti 'hitam'. Secara filosofis Nyutra
Hitam bermakna pasukan yang selalu membasmi kejahatan, seperti Sri Kresna sebagai
titisan Dewa Wisnu.
PRAJURIT KETANGGUNG
Nama Ketanggung
berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-. Kata
"tanggung" berarti 'beban, berat. Sedangkan ke- di sini sebagai
penyangatan 'sangat'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan
tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Puliyer
(Wirawicitra / Wirawredhatama / Operwachmester).
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang
dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam
dengan warna putih. Cakra-swandana berasal dari bahasa Sansekerta
"cakra" (senjata berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi
"swandana" yang berarti 'kendaraan/kereta'. Secara filosofis
Ketanggung bermakna pasukan yang membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan
membuat porak poranda musuh.
PRAJURIT MANTRIJERO

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna putih.
Purnamasidhi berasal dari kata Sansekerta, yaitu "purnama" berarti
'bulan penuh' dan kata "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara
filosofis Purnamasidhi bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan
cahaya dalam kegelapan.
PRAJURIT BUGIS
Nama Bugis berasal
kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa HB IX bertugas di Kepatihan
sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman HB IX ditarik menjadi satu
dengan prajurit kraton, dan dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal
gunungan. Secara filosofis Prajurit Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti
sejarah awal mula yang berasal dari Bugis, Sulawesi.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas.
Wulan-dadari berasal dari kata "wulan" berarti 'bulan' dan
"dadari" berarti 'mekar, muncul timbul'. Secara filosofis bermakna
pasukan yang diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat
berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan
fungsi matahari.
PRAJURIT SURAKARSA
Nama Surakarsa berasal
dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan bahasa Sansekerta
berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti 'kehendak'. Dahulu
Prajurit Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom atau Putra
Mahkota, bukan bagian dari kesatuan prajurit kraton. Secara filosofis Surakarsa
bermakna pasukan yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra
mahkota. Sejak masa HB IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton
dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian
belakang.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja
prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan
warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning. Pareanom
berasal dari kata "pare" (tanaman merambat berwarna hijau yang
buahnya jika masih muda berwarna hijau kekuning-kuningan), dan kata
"anom" berarti 'muda'. Secara filosofis Pareanom bermakna pasukan
yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.
Makna Filosofis Warna
pada Bregada Prajurit
Warna dapat dipahami
dalam tiga tingkatan. Pertama, adalah warna secara murni yaitu penggunaan warna
untuk warna itu sendiri; kedua, adalah warna secara harmonis yang mengungkap
kenyataan optis; ketiga, adalah warna secara heraldis atau simbolis. Pada Prajurit
Kraton Yogyakarta, warna akan dipahami secara simbolis. Sebagai simbol, warna
dapat ditemukan antara lain pada pakaian dan bendera (klebet/dwaja).
Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna dasar, seperti putih,
merah, kuning, hitam dan biru, serta hijau.
Dalam dunia simbolik
Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu di dunia dibagi
empat yang disebar di keempat penjuru angin dan satu di tengah sebagai pusat.
Warna juga dibagi empat atau lima. Warna hitam terletak di utara, sementara
merah berada di selatan. Warna putih diletakkan di timur, dan barat memiliki
warna kuning. Di tengah, sebagai pusat, adalah perpaduan dari berbagai warna
tersebut. Masing-masing warna tersebut berasosiasi dengan berbagai hal, seperti
sifat, dewa, bunga, serta benda-benda.
Warna hitam, Wulung,
dan Biru.
Warna hitam digunakan
pada baju dan celana Manggala, baju dan celana Pandhega, baju prajurit
Prawiratama, baju sebagian prajurit Nyutra, topi mancungan dari Prajurit
Dhaeng. Pada bendera prajurit Patangpuluh, warna ini menjadi dasar dari bendera
Cakragora. Warna ini juga terlihat pada sebutan bendera Nyutra, yaitu
Padma-sri-kresna. Kresna bukan saja nama tokoh pahlawan dalam pewayangan
Mahabharata, melainkan juga warna hitam, seperti warna badan Sri Kresna. Warna
hitam adalah warna tanah, berkaitan dengan sifat aluamah Dalam masyarakat Jawa,
warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Warna Wulung, yaitu
hitam keunguan, digunakan misalnya untuk blangkon prajurit Dhaeng atau untuk
dodot yang dikombinasikan dengan warna putih. Warna wulung dekat dengan warna
hitam, sehingga bermakna sama.
Warna Biru, digunakan
secara terbatas misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar
Sarahastra dan prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan warna ini
barangkali dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.

Warna Merah dan Jingga
Merah digunakan pada
beberapa pasukan. Pasukan yang menggunakan warna merah paling dominan adalah
Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju
sikepan, celana, hingga srempang, endhong (yang sekarang). Pasukan lain yang
cukup dominan menggunakan warna merah adalah Dhaeng.
Warna merah diterapkan
pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana.
Prajurit Nyutra menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana.
Prajurit Ketanggung menggunakan kain merah sebagai pelapis baju. Prajurit
Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan
celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh
berbagai pasukan prajurit.
Untuk bendera, merah
digunakan sebagai motif hias pada bendera Gula-klapa, yang merupakan bendera
Kraton Yogyakarta meskipun sekarang dibawa oleh bregada Wirabraja.
Merah sering dikonotasikan
dengan keberanian. Dalam hal ini, sesuai misalnya dengan sebutan Wirabraja
untuk prajurit yang dikenal sebagai pemberani. Dalam kamus dinyatakan bahwa
"wira" berarti 'kendel' atau 'berani' dan "braja" berarti
'gegaman' atau senjata.
Warna merah penting
bagi kebudayaan-kebudayaan di Nusantara sejak lama. Lukisan dinding gua, juga
penguburan pada masa Prasejarah menggunakan warna ini dari serbuk batuan
hematit. Warna ini juga menemukan makna filosofisnya pada masa Hindu hingga
dimodifikasi pada masa Islam yang diwujudkan antara lain dalam warna merah dari
bendera Gula-klapa.
Warna jingga atau
oranye digunakan untuk baju dalam prajurit Jagakarya. Warna ini jarang
digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah. Oleh karena itu, warna
ini memiliki makna pemberani, mirip dengan warna merah. Dalam pembagian
simbolik di Jawa (mancapat), warna merah berasosiasi antara lain dengan api,
selatan, logam swasa -yaitu campuran antara emas dan tembaga, burung wulong,
lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma.
Warna Putih
Warna putih digunakan
oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang
sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan warna putih
secara dominan adalah prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini
menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain
menggunakan warna putih untuk celana panjang, yaitu prajurit Ketanggung dan
Patangpuluh.

Warna putih berdekatan
makna dengan kebersihan atau kesucian. Hubungan antara putih dengan kesucian
sudah berlangsung lama dalam sejarah kebudayaan. Didalam struktur pemerintahan
kerajaan-kerajaan di Jawa terdapat abdi dalem yang disebut Pamethakan. Istilah
ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti putih. Pakaian abdi dalem ini
berwarna putih. Abdi dalem ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan
keagamaan.
Dalam pembagian warna
secara simbolik di Jawa (mancapat), warna putih berasosiasi antara lain dengan
arah timur, perak, burung kuntul (bangau), air, santan, hari pancawala Legi,
serta Dewa Komajaya.
Warna Kuning dan Emas
Warna kuning tidak
digunakan secara dominan pada prajurit kraton; hanya untuk hiasan, seperti
hiasan lengan pada prajurit Nyutra. Warna kuning juga merupakan warna dasar
dari bendera kedua regu pasukan Nyutra. Salah satunya adalah bendera Podhang
ngingsep sari. Nama podhang berkaitan dengan warna bulu burung ini yang kuning.
Warna kuning bermakna
keluhuran, ketuhanan, dan ketenteraman. Dalam upacara selamatan pada masyarakat
Jawa, juga sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini
merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Di
Kraton Yogyakarta, warna kuning antara lain hadir pada warna plak payung yang
digunakan oleh pangeran sentana, juga payung yang digunakan untuk menaungi
makanan dan minuman yang dihidangkan untuk Sultan.
Dekat dengan warna
kuning adalah warna emas. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh prajurit
Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji, plisir pada baju sikepan
Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan
prajurit Jajar, sebagaimana terlihat pada pasukan Patangpuluh, prajurit
Jagakarya. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan. Warna emas
(prada) mengandung makna kemuliaan dan kemakmuran yang dapat meningkatkan
kewibawaan raja.
Sebagai logam mulia,
emas merupakan logam yang stabil, tidak mudah bereaksi terhadap unsur-unsur
lain. Logam ini juga merupakan logam yang indah, mudah dibentuk, serta langka.
Oleh karena itu, emas termasuk logam berharga.
Di Kraton, emas atau
prada digunakan untuk mewarnai beberapa bagian bangunan, seperti umpak, tiang,
dan sebagainya, untuk tempat-tempat yang disinggahi oleh Sultan. Selain itu,
warna emas juga terdapat pada payung kebesaran Sultan, Kanjeng Kyai Tunggul
Naga. Banyaknya warna prada pada lambang-lambang kerajaan disebabkan karena
warna ini menimbulkan kultus kemegahan. Warna kuning dalam pembagian simbolik
di Jawa (mancapat), antara lain berasosiasi dengan udara, arah barat, emas,
burung podhang, lautan madu, hari Pon, serta Dewa Bayu.
Warna Hijau
Warna hijau, digunakan
antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh. Pada bendera, muncul pada
warna bendera Pareanom, serta bendera Papasan. Warna kedua bendera ini meniru
warna buah-buahan. Warna ini adalah simbol pengharapan.
Makna Filosofis Kain
Bermotif pada Bregada Prajurit
Selain dibedakan atas
warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan busana prajurit juga
bermotif. Motif yang ada antara lain adalah batik, lurik, atau cindhe.
Batik
Batik digunakan oleh
para Manggala, Wadana Ageng, Pandhega (Bupati enem), Panewu Bugis juga
mengenakan kain batik. Prajurit lain yang mengenakan adalah Surakarsa dan Miji
Jager. Penggunaan batik (yang rumit dan relatif mahal dibanding dengan kain
polos) untuk para pimpinan menunjukkan adanya hirarki secara simbolik. Kain
batik dengan ragam hiasnya yang bervariasi tersebut memiliki lebih banyak makna
daripada sekedar kain polos.
Lurik
Lurik dikenakan
sebagai baju luar untuk pasukan-pasukan Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Miji
Jager, Patangpuluh, dan Langenastra, baik untuk Lurah Parentah maupun untuk
Prajurit Jajar. Kain lurik bukanlah kain semahal batik dan filosofisnya juga
tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian
sehari-hari seperti surjan atau pranakan. Oleh karena itu, makna kain ini
cenderung kepada kesederhanaan, kesetiaan dan kejujuran.

Warna lurik yang
mendekati abu-abu (abu = awu Jw.) melambangkan kasih sayang dan restu raja
terhadap prajurit laksana abu yang tidak dapat dibakar api. Meskipun demikian,
terdapat motif lurik yang berbeda di antara pasukan-pasukan tersebut. Dalam hal
ini, perbedaan motif dapat dianggap bermakna indentitas.
Cindhe
Motif cindhe digunakan
untuk celana panji-panji, lonthong (misalnya untuk manggala, prajurit
Ketanggung, prajurit Patangpuluh, dan prajurit Mantrijero), serta bara
(misalnya untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, Mantrijero).
Cindhe sendiri merupakan motif tekstil pengaruh dari India.
Penggunaan motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos
dan batik. Motif ini biasanya berdasar warna merah. Penggunaan warna ini
cenderung kepada makna keberanian yang disandang oleh para prajurit.